Wiranggaleng

Seorang nabi tidak pernah dihormati di tempatnya sendiri. Itu yang dikatakan oleh Yesus, alias Isa. Ia mengatakan hal tersebut ketika diusir oleh orang-orang Israel ketika sedang berkotbah di lingkungan tempat ia dibesarkan. Tak perduli betapa banyaknya pengikutnya, atau betapa bagus kotbah yang ia sampaikan, tetap saja ia tahu pedoman klasik: seorang nabi akan selalu jadi orang biasa di tempat ia dibesarkan.

Semua ratu adil, nabi, juru selamat, yang kini punya banyak pengikut akhirnya memang berhasil. Berhasil menyebarkan ajaran yang menuntun umat manusia ke arah kehidupan lebih baik. Tapi keberhasilan itu tidak pernah terjadi di ruang dan waktu ketika mereka hidup.

Memang semua cerita nabi, ratu adil, juru selamat atau bahkan pahlawan biasa membutuhkan waktu untuk menjadi sebuah legenda bahkan kitab. Tapi ada cerita tentang seorang yang diharapkan menjadi pahlawan pada zamannya, tapi setelah ia berusaha sekuat tenaga, ia sadar bahwa ia bukan siapa-siapa, hanya seorang petani biasa yang merupakan bagian dari sebuah zaman. Ia sadar ia bukan pengubah zaman.

Adalah Wiranggaleng, seorang petani di kawasan Tuban Selatan, yang menjadi protagonis dalam epos besar karya Pramudya Ananta Toer, Arus Balik. Ia menjadi harapan besar dari seluruh rakyat yang merindukan kebesaran Majapahit, yang perlahan-lahan memudar, seiring dengan masuknya bangsa-bangsa utara ke pedalaman Jawa. Ialah Gajah Mada selanjutnya, semua orang berpikir.

Dengan setting tahun 1500an, ketika nusantara berubah dengan sangat cepat saat pedagang-pedagang Arab dan kolonialisme Eropa mulai menancapkan kakinya ke pulau-pulau di seluruh nusantara, Pram menggambarkan situasi saat itu dengan sangat detil. Pakaian yang mereka kenakan, ibadah keagamaan yang mereka lakukan, dan tentu saja kekawatiran masyarakat atas memudarnya Majapahit setelah 200 tahun sang Mahapatih Besar, Gajah Mada wafat.

Wiranggaleng, sang pemuda kemudian muncul dalam situasi seperti itu. Juga dengan harapan-harapan besar yang mnyertainya. Ia bahkan harus berlayar ke Malaka untuk menghadapi Portugis. Ialah penyatu nusantara! Ialah Mahapatih Besar yang ditunggu itu!

Tapi kemudian Wiranggaleng sadar, ia bukan sang Mahapatih yang diidolakannya itu. Ia petani kecil biasa dengan harapan yang terlalu besar di pundaknya. Maka ketika ia merasa gagal, ketika Portugis semakin masuk ke nusantara, ketika para pedagang Arab semakin masuk ke pedalaman Jawa, ia sadar, ia hanya ingin pulang ke rumahnya. Di sana sudah menunggu istri yang sangat dicintainya, Idayu.

Epos yang pernah dilarang beredar oleh pemerintah militer Soeharto ini sedikit menyentak buatku. Aku terlalu ingin menjadi "seseorang". Aku pergi ke seluruh tempat untuk melihat hal baru. Berharap itulah tempat yang tepat buatku untuk menjadikan diriku seseorang yang berpengaruh. Orang besar! Buku ini sedikit menyadarkan bahwa terkadang aku perlu untuk melihat bahwa kembali ke rumah, dan menghabiskan hidupmu dengan orang yang kau kasihi adalah bukan kesalahan. Menjadi orang biasa saja dan melihat semua yang terkasih ada di pelukanku juga adalah anugerah dari Sang Pencipta.

**untuk uut yang setia menunggu, entah berapa lama lagi**

Comments

Anonymous said…
bham, kapan tulisan elo dimuat di kompas lagi? kangen oi mbaca tulisan elu... terakhir tulisanlo di kompas tahun 2005 awal ya? abis itu lebih sering nulis di laras ya? uangnya lebih banyak ya? hehe keilangan ide ya? makanya cari inspirasi ga usah jauh2 ke ubud... di jakarta juga banyak...
prabhamwulung said…
>>si yudis
tau aja sampeyan ini..
kapan kita ketemuan di jakarta lagi?
priyatnadp said…
berapa lama lagi aku harus menunggumu...hiks..srooot..apa yang kau cari lagi wiranggaleng?
prabhamwulung said…
>>priyatna
aku mencari emas di ujung pelangi.. entah apakah suatu saat bisa kutemukan..
ADMIN said…
salam kenal KI, saya ardana dari bali saya juga Fans Bpk Pram, dan wiranggaleng......paling tidak dia sudah berusaha,
prabhamwulung said…
>>bli ardana
salam kenal juga bli...
menarik, kira2 edisi free download epos ini ada gak, ya?

Popular posts from this blog

Kicau

20

Rumah