Posts

Showing posts from May, 2006

Menunggu

Image
Samuel Beckett dalam "Waiting for Godot" membuat kita tahu betapa penting arti waktu. Tapi menunggu juga kadang membuat kita tidak mengerti apa maksud yang hendak dicapai. Terlalu banyak keingintahuan yang tidak terjawab, sampai sesutu yang ditunggu itu datang. Padahal belum tentu ia datang, bukan? Barusan aku jalan-jalan di lantai bawah tanah pusat perbelanjaan Queen Victoria Building di kota Sydney. Iseng-iseng aku masuk ke sebuah toko buku bekas. Setelah mencari-cari sesuatu yang tidak tahu apa yang harus dicari, mataku tertuju pada buku yang cukup terkenal "A Nation in Waiting" karya Adam Schwarz. Tentang akhir masa-masa pemerintahan Suharto dan kejatuhannya, serta ketidakstabilan bangsa Indonesia di masa-masa itu. Cukup tebal. Harganya 15 dollar, aku beli. Sebelumnya aku pernah membaca ringkasan buku itu. Cukup menarik melihat cara pandang bangsa lain ketika Indonesia sedang dalam ketidakjelasan yang sangat parah. Ketidakstabilan yang dipandang Schawarz sebaga

Kartu

Image
Kartu nama memang cuma sebentuk kertas kecil yang berisi lembaran informasi tentang si pemberi kartu. Tapi ternyata desain kartu nama selalu memegang peranan penting dalam memberikan informasi. Anda pernah mendapat kartu nama dari ketua RT di kampung sebelah? Kalau pernah, lalu coba bandingkan dengan kartu nama seorang direktur perusahaan multinasional. Lalu kalau masih ingin iseng, bandingkan dengan kartu nama seorang arsitek atau desainer muda. Anda akan bisa melihat perbedaan besar antara ketiga kartu nama tersebut. Apa yang membedakan? Ketiga kartu tersebut sama-sama memberikan informasi standar: nama, alamat, nomor telepon, fungsi pekerjaan, dan semacamnya. Sama-sama ditulis di atas kertas dengan ukuran yang tak terlalu jauh berbeda antara satu dengan lainnya. Yang membedakan adalah DESAIN. Desain bisa membedakan segalanya. Dengan perancangan yang baik, Anda akan selalu bisa memberikan begitu banyak informasi dalam sebuah kartu nama, tanpa Anda harus terlalu banyak bercerita. Bebe

Imigran

Image
Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata Jerman? Mungkin Anda akan berpikir kata-kata negara maju, modern, tertib, sepakbola, Bayern Munchen, Mercedes Benz, atau ekonomi yang baik. Wajar bukan kalau kita berpikir seperti itu, sebab kita melihat sepak terjang negara tersebut di dunia yang begitu mengagumkan. Itu yang menjadi bahan pertanyaanku mengapa teman di kantorku yang asal Jerman, Andrea Fink, memilih berimigrasi ke Australia. Tadinya saya berpikir, alasannya pastilah lebih karena ingin merasakan situasi baru dan semacamnya. Jawabannya sedikit mengejutkan. Sambil berbicara ketika kami berjalan menuju halte bus yang akan membawa kami pulang, ia bercerita bahwa perekonomian Jerman sedang menukik tajam. Banyak kantor konsultan arsitektur yang tutup, yang menyebabkan ia dan suaminya kesulitan menemukan pekerjaan di bidang arsitektur. Jawaban itu cukup mengagetkan aku dan temanku asal Pakistan yang sama-sama berjalan pulang bersama Andrea. Kami berkata bahwa bagi negara kami, J

Pram

Image
Tadi malam, ketika sedang asyik duduk di kedai kopi di tepi pantai timur Australia, seorang teman mengirim pesan pendek melalui telepon selular. Begini bunyinya,"Bham, Pramoedya Ananta Toer meninggal". Ah, berarti Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya lagi. Perkenalanku dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Pram biasa ia dipanggil, bermula dari sekolah tingkat menengah pertama. Guru Bahasa Indonesiaku di sekolah menengah pertama adalah guru yang baik sekali dalam artian ia menguasai bahan yang diajarkan, namun juga tidak mau terpaku pada kurikulum yang digariskan. Kita semua tahu, zaman rezim baru melarang semua buku yang ditulis oleh Pram. Komunis, kata mereka, tanpa pernah mengajarkan apa dan bagaimana sebenarnya komunis itu. Bu Har, begitu kami memanggilnya, mengenalkan sedikit demi sedikit kepada kami tentang karya-karya Pram kepada kami, murid-muridnya. Cerita dari Blora, Gadis Pantai, dan tetraloginya yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak L

Djogdja

Image
Tulisan ini akan sedikit aneh, karena memulai sesuatu cerita tentang kota tapi dimulai dengan cerita kota lain. Begini, akhir pekan lalu aku pergi ke kota Gold Coast, sebuah kota di pesisir timur Australia. Sebenarnya bukan liburan yang terlalu menarik, sebab hujan turun membuat beberapa rencana melihat tempat-tempat menarik terpaksa dibatalkan. Di tengah keadaan yang membosankan itu, ketika aku sedang mencoba berjalan-jalan di tepi pantai sambil mengambil beberapa foto dengan kamera Nikon keluaran tahun 1980, ada sepasang muda-mudi kulit putih yang tersenyum melihatku. Tadinya aku pikir mereka mabuk, karena mereka menggenggam botol bir. Tiba-tiba sang pemudi menghampiri aku dan berkata,"Kamu bisa berbicara Bahasa Indonesia?". Singkat cerita, setelah aku sedikit terkaget-kaget dengan kefasihannya berbahasa Indonesia, dia adalah pemudi asal Jerman, yang pernah beberapa waktu tinggal di Indonesia. Ternyata dia mengetahui bahwa aku berasal dari Indonesia dengan melihat kausku y