Payangan
Sebuah kelurahan yang berjarak sekitar 15 kilometer utara Ubud. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Pendatang juga mendiami kelurahan ini. Beberapa berprofesi sebagai pedagang yang kebanyakan datang dari Jawa. Sebagian lain bekerja di hotel atau spa yang bertebaran di kawasan Ubud dan sekitarnya.
Terletak di tepi sungai Ayung yang menawan membuat kawasan ini tidak saja subur, tapi juga indah. Padi berteras-teras, lembah, dan tentu saja gadis-gadis manis yang membawa sesembahan untuk para dewa membuat kawasan ini menarik banyak operator hotel dan spa menancapkan kukunya di daerah ini.
Tapi di luar kosmopolitannya Payangan karena banyaknya orang asing yang memilih kawasan ini sebagai tempat tinggal mereka, Payangan tetaplah sebuah desa kecil dengan segala kesederhanaannya. Gampang saja melihat sederhananya sebuah daerah. Pergilah ke pasarnya.
Kebetulan hampir setiap malam aku mengunjungi Pasar Payangan. Ya, di sanalah satu-satunya harapanku kalau lapar menyerang. Kalau aku menunjungi Pasar Payangan, aku langsung teringat sebuah pasar di pinggiran Jakarta 23 tahun yang lalu. Ya, Pasar Payangan adalah sebuah Pasar Pondok Gede 23 tahun yang lalu bagiku.
Di Pasar Payangan aku bisa melihat keluarga petani sederhana dengan anak istrinya makan di sebuah warung pecel lele orang Banyumas atau keluarga pegawai negri kantor pos kelurahan makan bersama-sama di warung sate orang Madura. Betapa sederhananya mereka menikmati hidup. Tidak ada KFC, Starbucks, atau McD. Tapi tak mengubah apapun. Makan keluar bersama keluarga adalah tetap sebuah hal yang menyenangkan. Dimana pun itu. Apapun itu.
Lalu semua pikiran beralih ke Pasar Pondok Gede 23 tahun lalu ketika bapakku, ibuku, aku, dan adikku bersama-sama di atas sebuah vespa butut bapak, dengan segala kesederhanaan kami, beranjangsana ke sebuah kedai minuman alpukat di Pasar Pondok Gede yang becek.
Pasar Payangan membuatku merasakan de javu yang teramat sangat.
**Foto di atas diambil dari sebuah rumah milik arsitek Cheong Yew Kuan yang menghadap lembah Sungai Ayung**
Terletak di tepi sungai Ayung yang menawan membuat kawasan ini tidak saja subur, tapi juga indah. Padi berteras-teras, lembah, dan tentu saja gadis-gadis manis yang membawa sesembahan untuk para dewa membuat kawasan ini menarik banyak operator hotel dan spa menancapkan kukunya di daerah ini.
Tapi di luar kosmopolitannya Payangan karena banyaknya orang asing yang memilih kawasan ini sebagai tempat tinggal mereka, Payangan tetaplah sebuah desa kecil dengan segala kesederhanaannya. Gampang saja melihat sederhananya sebuah daerah. Pergilah ke pasarnya.
Kebetulan hampir setiap malam aku mengunjungi Pasar Payangan. Ya, di sanalah satu-satunya harapanku kalau lapar menyerang. Kalau aku menunjungi Pasar Payangan, aku langsung teringat sebuah pasar di pinggiran Jakarta 23 tahun yang lalu. Ya, Pasar Payangan adalah sebuah Pasar Pondok Gede 23 tahun yang lalu bagiku.
Di Pasar Payangan aku bisa melihat keluarga petani sederhana dengan anak istrinya makan di sebuah warung pecel lele orang Banyumas atau keluarga pegawai negri kantor pos kelurahan makan bersama-sama di warung sate orang Madura. Betapa sederhananya mereka menikmati hidup. Tidak ada KFC, Starbucks, atau McD. Tapi tak mengubah apapun. Makan keluar bersama keluarga adalah tetap sebuah hal yang menyenangkan. Dimana pun itu. Apapun itu.
Lalu semua pikiran beralih ke Pasar Pondok Gede 23 tahun lalu ketika bapakku, ibuku, aku, dan adikku bersama-sama di atas sebuah vespa butut bapak, dengan segala kesederhanaan kami, beranjangsana ke sebuah kedai minuman alpukat di Pasar Pondok Gede yang becek.
Pasar Payangan membuatku merasakan de javu yang teramat sangat.
**Foto di atas diambil dari sebuah rumah milik arsitek Cheong Yew Kuan yang menghadap lembah Sungai Ayung**
Comments