Posts

Showing posts from 2006

Mohamad

Image
Ini Mohamad kelahiran Batang, Jawa Tengah. Seorang sastrawan besar yang dimiliki Indonesia saat ini. Goenawan Mohamad nama lengkapnya. Kalau Anda suka membaca majalah Tempo, majalah yang juga kelahirannya dibidani olehnya, Anda tentu tak akan pernah melupakan tulisan-tulisan di Catatan Pinggirnya. Tulisannya tidak rumit, namun mampu menembus ke sela-sela persoalan terdalam yang dihadapi bangsa ini. Tidak menggurui, tapi selalu menuntun ke kehidupan yang saling menghargai. Ada pengalaman tersendiri dari saya tentang Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad. Ketika itu saya sedang berbaring di kelas terendah di sebuah kapal yang membawa saya dari Nias sehabis melakuan riset arsitektur Nias Utara dan Nias Selatan kembali menuju Jakarta. Saya tahu di Jakarta saya akan dihadapkan pad skripsi yang harus saya buat waktu itu. Tapi sungguh, belum ada satu ide pun yang hinggap di kepala. Di genggaman ada buku kumpulan tulisan Catatan Pinggir milik teman . Ada tulisan berjudul “Fathy”. Rupanya Goenaw

Menunggu

Image
Samuel Beckett dalam "Waiting for Godot" membuat kita tahu betapa penting arti waktu. Tapi menunggu juga kadang membuat kita tidak mengerti apa maksud yang hendak dicapai. Terlalu banyak keingintahuan yang tidak terjawab, sampai sesutu yang ditunggu itu datang. Padahal belum tentu ia datang, bukan? Barusan aku jalan-jalan di lantai bawah tanah pusat perbelanjaan Queen Victoria Building di kota Sydney. Iseng-iseng aku masuk ke sebuah toko buku bekas. Setelah mencari-cari sesuatu yang tidak tahu apa yang harus dicari, mataku tertuju pada buku yang cukup terkenal "A Nation in Waiting" karya Adam Schwarz. Tentang akhir masa-masa pemerintahan Suharto dan kejatuhannya, serta ketidakstabilan bangsa Indonesia di masa-masa itu. Cukup tebal. Harganya 15 dollar, aku beli. Sebelumnya aku pernah membaca ringkasan buku itu. Cukup menarik melihat cara pandang bangsa lain ketika Indonesia sedang dalam ketidakjelasan yang sangat parah. Ketidakstabilan yang dipandang Schawarz sebaga

Kartu

Image
Kartu nama memang cuma sebentuk kertas kecil yang berisi lembaran informasi tentang si pemberi kartu. Tapi ternyata desain kartu nama selalu memegang peranan penting dalam memberikan informasi. Anda pernah mendapat kartu nama dari ketua RT di kampung sebelah? Kalau pernah, lalu coba bandingkan dengan kartu nama seorang direktur perusahaan multinasional. Lalu kalau masih ingin iseng, bandingkan dengan kartu nama seorang arsitek atau desainer muda. Anda akan bisa melihat perbedaan besar antara ketiga kartu nama tersebut. Apa yang membedakan? Ketiga kartu tersebut sama-sama memberikan informasi standar: nama, alamat, nomor telepon, fungsi pekerjaan, dan semacamnya. Sama-sama ditulis di atas kertas dengan ukuran yang tak terlalu jauh berbeda antara satu dengan lainnya. Yang membedakan adalah DESAIN. Desain bisa membedakan segalanya. Dengan perancangan yang baik, Anda akan selalu bisa memberikan begitu banyak informasi dalam sebuah kartu nama, tanpa Anda harus terlalu banyak bercerita. Bebe

Imigran

Image
Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata Jerman? Mungkin Anda akan berpikir kata-kata negara maju, modern, tertib, sepakbola, Bayern Munchen, Mercedes Benz, atau ekonomi yang baik. Wajar bukan kalau kita berpikir seperti itu, sebab kita melihat sepak terjang negara tersebut di dunia yang begitu mengagumkan. Itu yang menjadi bahan pertanyaanku mengapa teman di kantorku yang asal Jerman, Andrea Fink, memilih berimigrasi ke Australia. Tadinya saya berpikir, alasannya pastilah lebih karena ingin merasakan situasi baru dan semacamnya. Jawabannya sedikit mengejutkan. Sambil berbicara ketika kami berjalan menuju halte bus yang akan membawa kami pulang, ia bercerita bahwa perekonomian Jerman sedang menukik tajam. Banyak kantor konsultan arsitektur yang tutup, yang menyebabkan ia dan suaminya kesulitan menemukan pekerjaan di bidang arsitektur. Jawaban itu cukup mengagetkan aku dan temanku asal Pakistan yang sama-sama berjalan pulang bersama Andrea. Kami berkata bahwa bagi negara kami, J

Pram

Image
Tadi malam, ketika sedang asyik duduk di kedai kopi di tepi pantai timur Australia, seorang teman mengirim pesan pendek melalui telepon selular. Begini bunyinya,"Bham, Pramoedya Ananta Toer meninggal". Ah, berarti Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya lagi. Perkenalanku dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Pram biasa ia dipanggil, bermula dari sekolah tingkat menengah pertama. Guru Bahasa Indonesiaku di sekolah menengah pertama adalah guru yang baik sekali dalam artian ia menguasai bahan yang diajarkan, namun juga tidak mau terpaku pada kurikulum yang digariskan. Kita semua tahu, zaman rezim baru melarang semua buku yang ditulis oleh Pram. Komunis, kata mereka, tanpa pernah mengajarkan apa dan bagaimana sebenarnya komunis itu. Bu Har, begitu kami memanggilnya, mengenalkan sedikit demi sedikit kepada kami tentang karya-karya Pram kepada kami, murid-muridnya. Cerita dari Blora, Gadis Pantai, dan tetraloginya yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak L

Djogdja

Image
Tulisan ini akan sedikit aneh, karena memulai sesuatu cerita tentang kota tapi dimulai dengan cerita kota lain. Begini, akhir pekan lalu aku pergi ke kota Gold Coast, sebuah kota di pesisir timur Australia. Sebenarnya bukan liburan yang terlalu menarik, sebab hujan turun membuat beberapa rencana melihat tempat-tempat menarik terpaksa dibatalkan. Di tengah keadaan yang membosankan itu, ketika aku sedang mencoba berjalan-jalan di tepi pantai sambil mengambil beberapa foto dengan kamera Nikon keluaran tahun 1980, ada sepasang muda-mudi kulit putih yang tersenyum melihatku. Tadinya aku pikir mereka mabuk, karena mereka menggenggam botol bir. Tiba-tiba sang pemudi menghampiri aku dan berkata,"Kamu bisa berbicara Bahasa Indonesia?". Singkat cerita, setelah aku sedikit terkaget-kaget dengan kefasihannya berbahasa Indonesia, dia adalah pemudi asal Jerman, yang pernah beberapa waktu tinggal di Indonesia. Ternyata dia mengetahui bahwa aku berasal dari Indonesia dengan melihat kausku y

Nama

Image
Anda tahu arti nama Anda? Pasti ketika orang tua Anda memberi nama, mereka menginginkan nama yang melekat menjadi pertanda harapan mereka terhadap Anda. Ketika saya berada di sekolah dasar, saya memiliki teman yang namanya Adil Hakim. Tentunya orang tua Adil, demikian kami memanggilnya, berharap dia akan menjadi orang yang adil seperti hakim dalam menghadapi setiap persoalan. Ibuku bekerja di apotik. Setiap hari pekerjaannya adalah menerima resep pasien dari kalangan menengah bawah. Pekerjaan seperti ini membuatnya sering menemukan pasien anak-anak yang namanya lucu bin aneh. Ada yang bernama Maradona, Mike Tyson, Ariel Peterpan atau bahkan Saddam Husein. Orang tua mereka pasti memberi nama mereka dengan harapan nasib mereka seperti nasib pesohor-pesohor itu. Beban hidup yang mendera mereka tentu dimanifestasikan terhadap anak-anak mereka agar kehidupan selebritis atau pesohor yang mereka lihat serba mewah suatu saat terjadi pula pada anak-anak mereka. Bicara tentang ibuku, berarti bi

Selera

Image
Anda merasa lucu? Atau malah Anda justru memiliki grup lawak? Atau di dalam komunitas yang Anda tergabung di dalamnya, Anda selalu menjadi pusat perhatian dengan lawakan-lawakan Anda? Anda beruntung kalau begitu. Paling tidak Anda berjasa dalam menghibur orang-orang di sekitar Anda. Bukankah dengan membuat orang tertawa, Anda telah membuat masalah-masalah mereka terlupakan, paling tidak untuk sesaat? Tapi, humor, yang membuat orang tertawa, tidak pernah bisa berlaku sama untuk semua orang atau kalangan. Ini yang sering kita dengar dengan istilah 'sense of humor' atau 'selera humor'. Lucu bagi orang atau kalangan tertentu, belum berarti lucu bagi orang atau kalangan yang lain. Anda tahu pelawak Jerry Seinfeld? Pelawak stand-up comedy ini begitu populer di Amerika. Lawakan jenis ini, yaitu melawak sendiri di atas panggung dengan humor-humor cerdas yang menusuk, memang populer di negara-negara barat. Bagi kalangan terdidik, katakan di Indonesia, lawak jenis ini pun bisa di

Square

Image
Hari libur paskah kemarin saya menjadi turis bertas punggung jalan-jalan ke Melbourne. Berangkat dari Sydney hari Jumat Agung di pagi hari menggunakan pesawat Jet Star, sebuah pesawat murah anak perusahaan Qantas, saya sedikit khawatir dengan cuaca di sana yang katanya sedang tidak baik. Dan memang betul. Di tengah cuaca Melbourne yang menyebalkan, kadang dingin, kadang panas, saya menyempatkan diri ke sebuah bangunan di Melbourne yang saya baca sebelumnya ketika dalam proses pembangunannya menyebabkan persebatan pro kontra yang hangat. Ketika sampai di Federation Square, saya menempatkan diri saya sebagai pihak yang tidak menyukai bangunan ini (kalau mau tidak dibilang membenci). Sungguh buruk rupa. Sepertinya bangunan ini direncanakan untuk menjadi sesuatu yang menarik perhatian, tapi sayangnya malah terlalu menarik perhatian, jadinya berkesan berteriak. Sombong? Mungkin bukan, hanya salah kostum saja. Seperti gadis 17 tahun yang datang ke pesta tapi tidak tahu harus berpakaian seper

Iwan

Image
Aku dibesarkan di lingkungan dimana lagu-lagu Iwan Fals sudah mempengaruhiku sejak aku berada di Taman Kanak-kanak. Bapakku tukang gigi palsu. Ia memiliki beberapa anak buah yang berasal dari kampungnya di Jawa Timur sana. Harap maklum, usaha kecil-kecilan, jadi mereka juga tidur di rumahku. Bayangkan di atas tanah sebesar 144 meter persegi, hidup 10 orang. Kami berlima sekeluarga, satu pembantu rumah tangga, dan 4 karyawan bapakku yang masih muda-muda itu. Dari merekalah aku mengenal sosok Iwan Fals. Yah, untuk pemuda seperti mereka, Iwan Fals adalah sosok pejuang pembebas. Maka hampir setiap hari lagu-lagu yang keluar dari leher penyanyi bersuara serak itu aku dengar. Lagu berjudul "Wakil Rakyat" yang terkenal itu telah aku dengar ketika aku berumur 7 tahun. Perlahan tapi pasti, sosok Iwan menjadi sosok yang memberi aku inspirasi. Lagu-lagunya sangat membumi. Terutama untuk aku yang tinggal di kampung di pinggiran Jakarta, realitas sosial yang dinyanyikan olehnya dapat aku

Ngumpul

Image
Di lantai 5, tempat saya bekerja, saya memiliki kelompok makan siang. Ya, kelompok ini terdiri dari orang-orang yang membawa bekal ke kantor. Grup tetapnya adalah satu orang Singapura, dua orang Jerman, satu orang Sri Lanka, satu orang Kolombia, satu orang Pakistan, satu orang Sudan, satu orang Italia, dan saya, orang asal Lubang Buaya yang nyasar di kota ini. Kelompok ini bisa bertambah bisa berkurang sesuai situasi. Kalau ada yang sibuk atau istrinya sedang menunggu di luar kantor, tentu saja berkurang anggotanya. Memang tidak ada orang Australia. Entah kenapa, mungkin mereka lebih nyaman untuk membeli makan siang, atau kesulitan untuk menyatukan pembicaraan dengan kami. Yah, harap maklum, karena kami semua pendatang, yang dibicarakan kalau tidak keadaan negara kami masing-masing, atau kadang membicarakan kejelekan Australia. Lucu juga membicarakan stigma orang-orang Australia, dari cara mereka berbicara hingga cara mereka berpikir. Yang menarik adalah kalau kami sudah mulai membicar

Hujan

Image
Tadi pagi, waktu terbangun dari mimpi, saya merasa sangat kedinginan. Mm, kota ini memang sudah mulai masuk musim gugur. Duh, dinginnya ngga kuat, mas!! Dingin banget. Dipikir-pikir, saya yang orang kampung ini jadinya merasa lucu. Dulu pengen banget ke luar negri ngerasain dinginnya suhu negri empat musim. Tapi ketika sudah ada di sini, kok jadinya menggigil ngga karuan seperti ini? Tapi dipikir punya dipikir, entah kenapa saya jadi teringat kampung halaman kalau sedang kedinginan. Hujan deras mengguyur kampung. Ya maklum, apa sih yang membuat negri tropis menjadi lumayan dingin? Paling hujan deras, kan? Entah kenapa, romantisme hujan tak pernah bisa tergantikan cuaca apapun. Bau harum air ketika menyentuh tanah kering, gorengan panas, teh hangat, dan pelukan dari orang-orang terkasih membuat hujan menjadi sesuatu yang 'ngangeni'. Di kota ini, susah sekali mendapat suasana seperti itu. Pertama, kalau hujan paling gerimis dan itu cuma sebentar. Paling yang besar cuma anginnya t

Salam

Image
Kita kadang mengucapkan salam ketika berjumpa seseorang. Bisa selamat pagi, atau selamat berjumpa. Kita juga mengucapkan salam ketika berpisah. Kadang cukup mengucapkan "daag" atau "bye". Namun salam bisa ditunjukkan dengan cara yang lebih hangat. Berjabat tangan atau bahkan mungkin berpelukan. Kalau perlu ditambah dengan tetesan air mata. Kebetulan saat ini saya sedang berada di Sydney untuk jangka waktu 3 bulan. Teman di sebelah meja saya orang Pakistan, namanya Muhammad Younas. Dia punya kebiasaan, setiap bertemu saya di pagi hari selalu mengucapkan "Good morning" sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangan saya. Begitu juga yang dilakukannya ketika hendak pulang. Mengucapkan "see you tomorrow" sambil mengajak berjabat tangan. Begitu setiap hari. Mungkin pertama aneh bagi saya, tapi akhirnya saya sadar bahwa ituadalah caranya untuk menunjukkan perhatian. Salam bisa mengartikan sebuah harapan akan kehidupan yang lebih baik. Nah, karena i