Imigran

Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata Jerman? Mungkin Anda akan berpikir kata-kata negara maju, modern, tertib, sepakbola, Bayern Munchen, Mercedes Benz, atau ekonomi yang baik. Wajar bukan kalau kita berpikir seperti itu, sebab kita melihat sepak terjang negara tersebut di dunia yang begitu mengagumkan.

Itu yang menjadi bahan pertanyaanku mengapa teman di kantorku yang asal Jerman, Andrea Fink, memilih berimigrasi ke Australia. Tadinya saya berpikir, alasannya pastilah lebih karena ingin merasakan situasi baru dan semacamnya. Jawabannya sedikit mengejutkan. Sambil berbicara ketika kami berjalan menuju halte bus yang akan membawa kami pulang, ia bercerita bahwa perekonomian Jerman sedang menukik tajam. Banyak kantor konsultan arsitektur yang tutup, yang menyebabkan ia dan suaminya kesulitan menemukan pekerjaan di bidang arsitektur.

Jawaban itu cukup mengagetkan aku dan temanku asal Pakistan yang sama-sama berjalan pulang bersama Andrea. Kami berkata bahwa bagi negara kami, Jerman dipandang jauh di sana, sebuah negara yang "gemah ripah loh jinawi". Toh, ternyata warganya harus keluar berimigrasi untuk menemukan pekerjaan. Menurut Andrea, berat sebenarnya meninggalkan tanah kelahiran. Tapi ia melihat bahwa Australia adalah negara yang bisa memenuhi harapan masa depannya.

Tadi malam aku juga bertemu dengan beberapa orang Bali yang sudah lama bermukim dan menetap di Australia. Mereka mengadakan perayaan Galungan dan aku diundang untuk menyicipi makanan yang dibuat tuan rumah. Beberapa dari mereka bercerita tentang pengalamannya berimigrasi di negri ini.

Aku lalu memperhatikan bahwa betapa mereka jauh dari tanah kelahirannya, mereka akan selalu tetap terhubung pada setiap peristiwa yang terjadi di tanah kelahirannya. Entah ia berasal dari Jerman, Argentina, Sudan, Bali, Padang, atau Pacitan. Mungkin ia melihat sebuah kesempatan besar di tanahnya yang baru, namun segala kenangan akan tanah dimana ia dibesarkan akan menjadi sesuatu yang membuat mereka tahu dimana akar mereka.

Lalu dimanakah rasa nasionalitas di sini? Dulu, dulu sekali, aku pernah kesulitan untuk mengetahui bagaimana rasa nasionalitas dipupuk pada diri orang yang tinggal di negara bukan tanah kelahirannya. Mungkin aku bisa menemukan jawabannya dari sosok semacam Franz Magnis Suseno. Di Indonesia dia adalah imigran asal Jerman, namun saya melihat betapa ia ingin memajukan negara Indonesia. Dari tulisan-tulisan dan karya-karyanya, saya melihat ada ketulusan untuk mengabdikan diri membentuk masyarakat Indonesia. Haruskah ia melupakan tanah kelahirannya di Jerman sana? Tentu tidak.

Dulu, dulu sekali, aku juga kesulitan untuk memahami mengapa orang pergi meninggalakan tanah kelahirannya. Perlahan aku menemukan bahwa manusia selalu berproses untuk mempertahankan hidupnya. Kalau Anda bersekolah dasar di Indonesia, Anda akan tahu cerita tentang nenek moyang bangsa Indonesia yang berasal dari Yunan di China Selatan. Mengapa mereka pergi dari tanah kelahiran mereka? Pastilah karena waktu itu mereka melihat di tanah Nusantara banyak kesempatan untuk melanjutkan hidup mereka dengan lebih baik. Itu pula yang terjadi ketika Abraham atau Ibrahim berimigrasi dari kota asalnya di Ur-Kasdim di daerah Irak sekarang menuju tanah Kanaan. Apa yang ia lihat waktu itu? Tentu kehidupan yang lebih baik (dan kemudian ia beranak pinak di sana dan keturunan anak cucunya melahirkan tiga agama besar, Yahudi, Islam, dan Kristen).

Beberapa hari yang lalu terjadi demonstrasi besar-besaran dari imigran ilegal di Amerika Serikat. Mereka menuntut untuk dijadikan warga negara resmi. Terus terang ini adalah permasalahan pelik. Memulangkan mereka kembali tentu bukan masalah sepele karena jumlahnya belasan juta. Tapi menjadikan mereka warga negara juga tidak akan pernah mudah karena akan mendapat tentangan dari penduduk Amerika Serikat lain yang merasa telah membayar pajak mahal dan takut kenyamanan yang selama ini mereka rasakan akan berkurang akibat bertambahnya penduduk.

Kita bisa melihat bahwa di dunia yang semakin sempit ini, masalah imigrasi menjadi masalah yang cukup pelik. Manusia saling berjuang mempertahankan masa depannya. Memakan manusia lain tak apa. Ya memang, homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi sesamanya.

Comments

Anonymous said…
lah sampeyan ngapain ke ausie, bham? jadi imigran juga to?
prabhamwulung said…
>>tole
terdampar mas...
Anonymous said…
sangat menarik, terima kasih

Popular posts from this blog

Kicau

Rumah

20