Posts

Showing posts from 2009

Galuh

Image
Anak perempuan kami sudah lahir pada 24 Oktober 2009 lalu. Terlahir dengan cara normal dengan berat 3.5 kg dan panjang 51 cm, bisa dibayangkan perjuangan istriku melahirkannya. Puji syukur kepada Sang Empunya Hidup yang mengizinkan kami untuk memperoleh kesempatan merawatnya. Kami memberinya nama Galuh Dahayu Waranggani Pratipodyo. Dulu, saat masih di kandungan, kami sudah mencari-cari nama apa yang akan diberikan kepadanya. Dari awal kami memang sepakat untuk memberikan nama yang "Indonesia" saja. Tapi, karena bumi Nusantara ini memang bhinneka, jadi makna Indonesia itu luas sekali. Bukan bermaksud Jawanisasi kalau kami menggunakan nama Jawa Kuno dan Sansekerta. Kalau saja kami orang Batak, mungkin ia kuberi nama Nauli atau Sondang, seperti seandainya kami dari Bali ia akan kuberi nama Ida Ayu. Galuh, nama panggilannya, terlahir di zaman internet. Namanya memang kami cari setelah tanya dari Mbah Gugel dan Pak Bing . Ketik saja "nama sansekerta" atau "nama jaw

Kompos

Image
Tinggal di kampung bisa berarti tidak mungkin mendapat fasilitas seperti hidup di perumahan kelas atas dengan sarana yang komplit. Mungkin suasana guyub lebih mudah bisa didapat, tapi ada beberapa hal yang nampaknya harus diperjuangkan. Salah satunya sampah. Aku dan istri memang lumayan pusing harus memikirkan masalah sampah.Di lingkungan rumah kami, orang masih mengandalkan membakar sampah untuk memusnahkan sampah rumah tangga. Bisa dipahami karena lingkungan ini berawal dari tanah kebun dan sawah sehingga pada awalnya jarak antar rumah masih berjauhan dan sampah rumah tangga yang dihasilkan belum semasif sekarang. Ketika geliat kota mulai merambah kampung ini (termasuk kami yang tidak memiliki pilihan lain), jarak antar rumah menjadi semakin dekat dan orang semakin banyak menghasilkan sampah plastik. Membakar sampah adalah pilihan yang tidak bijaksana. Setelah sibuk mencari sumber bacaan dan literatur, pilihan yang kemudian kami ambil adalah membedakan sampah. Sampah basah seperti si

King

Image
Liburan sekolah baru saja usai. Persoalan klasik tentang anak-anak Indonesia yang kesulitan menemukan bangku sekolah kembali muncul. Tapi ada yang bisa sedikit dicatat dari liburan kemarin ini, yaitu munculnya banyak film anak-anak Indonesia. Di tengah serbuan film horor dan komedi nakal, munculnya film anak-anak seperti Garuda di Dadaku dan King pantas diapresiasi. Di antara film Indonesia yang sedang beredar di bioskop, yaitu Maling Kuburans, Ketika Cinta Bertasbih, Garuda di Dadaku, dan King, aku memutuskan menonton yang terakhir. Alasan pertama adalah orisinalitas ide film. Aku melihat bahwa pengangkatan tema bulutangkis sebagai main core isi film lumayan brilyan. Sebagai salah satu parfum bangsa Indonesia di arena olahraga internasional, sudah layak dan sepantasnya bulu tangkis dijadikan kebanggan bersama. Film King melakukan itu. Ari Sihasale, sebagai produser dan sutradara, terlihat jelas dalam membawa arah film. Dari gambar-gambar indah di dataran tinggi Tengger, anak-anak yan

Perempuan

Image
Banyak pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku, perempuanku Tentang kota ini, juga orang-orang di dalamnya Tapi dalam beberapa waktu belakangan ini Semuanya adalah tentangmu Terus bertanya-tanya Apakah kau mirip ibumu Atau justru aku? Atau percampuran ibumu dan aku? Juga sedikit berkhayal Bahwa aku akan mengajarimu Sedikit tentang bumi pertiwi Tentang orang-orang sederhana yang akan kau temui Nanti aku yang akan membetulkan kuncir merahmu Sambil memberikan susu hangat Di malam dingin-dingin itu Atau kalau sedikit sudah besar Akan aku ajarimu renang gaya katak Karena kamu suka melihat katak, bukan? Terkadang timbul cemas Apakah aku mampu menjadi yang seharusnya aku kepadamu Seperti matahari kepada bumi Yang membuatnya hangat Seperti hujan kepada padi Yang membuatnya lepas dahaga Seperti takdir kepada kota ini Yang membuatnya tetap berdegup Lalu, adakah juga kau sudah bisa berpikir Mengapa kau ada dari tiada? Apakah hanya karena dari perjumpaan lingga dan yoni? Atau alam semesta yang me

Tol

Image
Apa yang membedakan Jakarta dengan daerah lain di Indonesia? Padatnya permukiman penduduk? Polusi udaranya yang menyesakkan dada? Itu semua bisa jadi benar adanya. Tapi ada fenomena yang sedang mengubah wajah kota ini menjadi sebuah kota yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Coba perhatikan bagaimana Jakarta menyelesaikan salah satu masalah yang terberat dihadapi kota ini: kemacetan lalu lintas. Penyelesaiannya adalah pembuatan jalan bebas hambatan atau kita kenal dengan jalan tol. Mungkin masalah semantik dengan istilah “jalan bebas hambatan” bisa diperdebatkan karena jalan tersebut sebetulnya tidak benar-benar bebas hambatan. Tapi ada hal yang penting di sini untuk melihat sebuah proses Jakarta tidak akan lagi bisa menjadi kota untuk dihuni, namun berubah menjadi sekadar “jalan bebas hambatan”, seperti yang dialami Los Angeles. Termotivasi pikiran tersebut, saya menulis di koran berbahasa Inggris, The Jakarta Globe, tentang kondisi Jakarta yang lama-kelamaan menjadi kota penuh

20

Image
Apa yang bisa dilakukan di sebuah rumah berukuran 20 m persegi? Tidak banyak. Paling menonton televisi atau membaca. Kalau sedang mati gaya, apalagi hidup hanya berdua istri, yang ada lu lagi lu lagi. Satu-satunya yang bisa membunuh kebosanan adalah pergi keluar rumah dan bercocok tanam di halaman. Di halaman rumah kebetulan sudah ada pohon rambutan yang kalau berbuah manis sekali dan pohon melinjo. Kebetulan istriku mendapat tanaman buah 5 batang. Halaman rumah yang terbatas itu akhirnya penuh dengan tambahan pohon rambutan (lagi), klengkeng, jambu (2 batang), dan duh, satu lagi kok sampai lupa ya? Belum selesai. Ibu mertuaku tiba-tiba menyuruh kami memindahkan pohon jeruk dari rumahnya ke halaman rumah kami. Lalu, bapakku tiba-tiba membawa pohon mangganya untuk ditanam. Walah. Halaman seuprit tapi isinya tanaman buah melulu. Sepertinya mereka akan mengalami kompetisi yang berat untuk mendapat sinar matahari yang cukup. Hidup mereka akan keras. Tapi tidak apa. Yang bertahan pasti akan