Hujan

Tadi pagi, waktu terbangun dari mimpi, saya merasa sangat kedinginan. Mm, kota ini memang sudah mulai masuk musim gugur. Duh, dinginnya ngga kuat, mas!! Dingin banget.

Dipikir-pikir, saya yang orang kampung ini jadinya merasa lucu. Dulu pengen banget ke luar negri ngerasain dinginnya suhu negri empat musim. Tapi ketika sudah ada di sini, kok jadinya menggigil ngga karuan seperti ini?

Tapi dipikir punya dipikir, entah kenapa saya jadi teringat kampung halaman kalau sedang kedinginan. Hujan deras mengguyur kampung. Ya maklum, apa sih yang membuat negri tropis menjadi lumayan dingin? Paling hujan deras, kan?

Entah kenapa, romantisme hujan tak pernah bisa tergantikan cuaca apapun. Bau harum air ketika menyentuh tanah kering, gorengan panas, teh hangat, dan pelukan dari orang-orang terkasih membuat hujan menjadi sesuatu yang 'ngangeni'. Di kota ini, susah sekali mendapat suasana seperti itu. Pertama, kalau hujan paling gerimis dan itu cuma sebentar. Paling yang besar cuma anginnya tok. Yang kedua, jelas ngga ada gorengan. Tahu goreng, tempe goreng, bakwan, ubi goreng, atau risol jelas tak mungkin ditemui di Sydney. Kecuali sampeyan mau susah-susah bikin sendiri.

Dulu waktu saya masih berada di sekolah dasar, bermain hujan adalah suatu hal yang paling ditunggu. Entah sekedar bermain bola di lapangan yang becek atau menggenjot sepeda kumbang. Badan kotor tak karuan tak peduli. Untungnya ibuku tidak pernah marah melihat pekerjaannya menjadi bertumpuk gara-gara baju anaknya sangat kotor bin lusuh.

Jakarta memang kadang mengesalkan kalau habis didera hujan deras. Jalan macet di mana-mana. Tapi nuansa ketika air mengalir deras turun di kaca bus atau mobil terus terang bikin jiwa jadi merinding. Sepi yang romantis. Kosong tapi indah.

Comments

Popular posts from this blog

Kicau

20

Rumah