Selera
Anda merasa lucu? Atau malah Anda justru memiliki grup lawak? Atau di dalam komunitas yang Anda tergabung di dalamnya, Anda selalu menjadi pusat perhatian dengan lawakan-lawakan Anda?
Anda beruntung kalau begitu. Paling tidak Anda berjasa dalam menghibur orang-orang di sekitar Anda. Bukankah dengan membuat orang tertawa, Anda telah membuat masalah-masalah mereka terlupakan, paling tidak untuk sesaat?
Tapi, humor, yang membuat orang tertawa, tidak pernah bisa berlaku sama untuk semua orang atau kalangan. Ini yang sering kita dengar dengan istilah 'sense of humor' atau 'selera humor'. Lucu bagi orang atau kalangan tertentu, belum berarti lucu bagi orang atau kalangan yang lain.
Anda tahu pelawak Jerry Seinfeld? Pelawak stand-up comedy ini begitu populer di Amerika. Lawakan jenis ini, yaitu melawak sendiri di atas panggung dengan humor-humor cerdas yang menusuk, memang populer di negara-negara barat. Bagi kalangan terdidik, katakan di Indonesia, lawak jenis ini pun bisa diterima. Namun bagi masyarakat 'akar rumput' di Indonesia, lawak jenis ini akan dianggap tidak lucu. Mau tahu mengapa? Karena sulit bagi mereka untuk mengetahui konteks yang dibicarakan.
Akhirnya tingkat kelucuan humor akan tergantung dengan pengetahuan yang berlaku di masyarakat. Lawakan grup Srimulat atau Patrio tentu menjadi tidak berlaku di masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan mereka.
Apakah ini yang dinamakan selera humor? Tentu bukan. Selera humor tidak ada hubungannya dengan pengetahuan dan kebudayaan. Selera humor adalah sebuah tingkatan rasa dalam memandang hidup dari sudut kelucuan. Sederhananya begini. Orang yang memandang hidup adalah sebuah humor, sebuah proses yang dipenuhi kelucuan-kelucuan, akan selalu menerima semua masalah yang menimpa hidupnya dengan tertawa. Demikian sebaliknya.
Masalah akan keluar ketika orang yang memiliki selera humor tinggi, yaitu orang yang memandang kelucuan adalah hal yang niscaya, berhadapan dengan orang yang berselera humor rendah, orang yang terlalu serius dalam menjalani hidup. Contoh paling sederhana adalah ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak menerima lawakan yang dilontarkan acara televisi Republik BBM di Indosiar.
Ah, di tengah dunia yang terlalu penat seperti ini, alangkah segarnya bila kita memandang hidup selalu dengan kacamata humor. Seperti yang saya alami barusan. Di tengah kebosanan pekerjaan membuat denah yang itu-itu saja, saya menemukan oase ketika Dong Wei yang berasal dari China di sebelah kiri saya berkelakar dengan Muhammad yang berasal dari Pakistan dengan lelucon-lelucon yang kocak tenan.
Anda beruntung kalau begitu. Paling tidak Anda berjasa dalam menghibur orang-orang di sekitar Anda. Bukankah dengan membuat orang tertawa, Anda telah membuat masalah-masalah mereka terlupakan, paling tidak untuk sesaat?
Tapi, humor, yang membuat orang tertawa, tidak pernah bisa berlaku sama untuk semua orang atau kalangan. Ini yang sering kita dengar dengan istilah 'sense of humor' atau 'selera humor'. Lucu bagi orang atau kalangan tertentu, belum berarti lucu bagi orang atau kalangan yang lain.
Anda tahu pelawak Jerry Seinfeld? Pelawak stand-up comedy ini begitu populer di Amerika. Lawakan jenis ini, yaitu melawak sendiri di atas panggung dengan humor-humor cerdas yang menusuk, memang populer di negara-negara barat. Bagi kalangan terdidik, katakan di Indonesia, lawak jenis ini pun bisa diterima. Namun bagi masyarakat 'akar rumput' di Indonesia, lawak jenis ini akan dianggap tidak lucu. Mau tahu mengapa? Karena sulit bagi mereka untuk mengetahui konteks yang dibicarakan.
Akhirnya tingkat kelucuan humor akan tergantung dengan pengetahuan yang berlaku di masyarakat. Lawakan grup Srimulat atau Patrio tentu menjadi tidak berlaku di masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan mereka.
Apakah ini yang dinamakan selera humor? Tentu bukan. Selera humor tidak ada hubungannya dengan pengetahuan dan kebudayaan. Selera humor adalah sebuah tingkatan rasa dalam memandang hidup dari sudut kelucuan. Sederhananya begini. Orang yang memandang hidup adalah sebuah humor, sebuah proses yang dipenuhi kelucuan-kelucuan, akan selalu menerima semua masalah yang menimpa hidupnya dengan tertawa. Demikian sebaliknya.
Masalah akan keluar ketika orang yang memiliki selera humor tinggi, yaitu orang yang memandang kelucuan adalah hal yang niscaya, berhadapan dengan orang yang berselera humor rendah, orang yang terlalu serius dalam menjalani hidup. Contoh paling sederhana adalah ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak menerima lawakan yang dilontarkan acara televisi Republik BBM di Indosiar.
Ah, di tengah dunia yang terlalu penat seperti ini, alangkah segarnya bila kita memandang hidup selalu dengan kacamata humor. Seperti yang saya alami barusan. Di tengah kebosanan pekerjaan membuat denah yang itu-itu saja, saya menemukan oase ketika Dong Wei yang berasal dari China di sebelah kiri saya berkelakar dengan Muhammad yang berasal dari Pakistan dengan lelucon-lelucon yang kocak tenan.
Comments