Pram
Tadi malam, ketika sedang asyik duduk di kedai kopi di tepi pantai timur Australia, seorang teman mengirim pesan pendek melalui telepon selular. Begini bunyinya,"Bham, Pramoedya Ananta Toer meninggal". Ah, berarti Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya lagi.
Perkenalanku dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Pram biasa ia dipanggil, bermula dari sekolah tingkat menengah pertama. Guru Bahasa Indonesiaku di sekolah menengah pertama adalah guru yang baik sekali dalam artian ia menguasai bahan yang diajarkan, namun juga tidak mau terpaku pada kurikulum yang digariskan. Kita semua tahu, zaman rezim baru melarang semua buku yang ditulis oleh Pram. Komunis, kata mereka, tanpa pernah mengajarkan apa dan bagaimana sebenarnya komunis itu.
Bu Har, begitu kami memanggilnya, mengenalkan sedikit demi sedikit kepada kami tentang karya-karya Pram kepada kami, murid-muridnya. Cerita dari Blora, Gadis Pantai, dan tetraloginya yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca merupakan buku-buku yang diperkenalkan oleh beliau kepada kami meskipun kami kesulitan mendapatkannya. Dengan sabar Bu Har menceritakan sedikit demi sedikit tentang detail isi buku itu.
Pada pertengahan tahun 90-an, ibuku memperoleh sebuah buku dari kenalannya. Judulnya Memoar Oei Tjoe Tat. Itu adalah sebuah buku tulisan Pram mengenai mentri pertama di Indonesia yang berasal dari keturunan Tionghoa. Lagi-lagi buku itu dilarang. Entah darimana ibuku berhasil memperoleh buku itu. Itu adalah bukuPram pertama yang aku baca.
Setelah kejatuhan Orde Baru, buku-buku karya Pram bisa ditemukan dimana-mana. Aku pun pada akhirnya bisa menikmati tulisan-tulisannya secara bebas. Aku langsung menemukan bahwa tulisan-tulisannya selalu memuat karakter-karakter yang didesain dengan sangat matang. Kisah tentang Minke di tetraloginya membuat pembaca dapat merasakan masa-masa awal pergerakan penduduk pribumi mulai menggunakan tema kebangkitan nusantara sebagai titik tolak perjuangan. Meskipun begitu, Minke tidak selalu digambarkan sempurna. Ia selalu mempunyai latar belakang abu-abu, tidak selalu hitam dan putih. Teman adikku mengatakan bahwa sebenarnya tokoh Minke itu digambarkan "tukang kawin" oleh Pram. Sebuah karakter yang unik.
Sekarang pengarang besar itu telah tiada. Selamat jalan Bung Pram. Karya-karya Anda telah membuat kami melihat bahwa pikiran tidak bisa dibelenggu oleh tirani sekalipun. Karya-karyamu membuat kami bangga bahwa Bahasa Indonesia bisa mempunyai karya sastra yang diakui dunia.
Perkenalanku dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Pram biasa ia dipanggil, bermula dari sekolah tingkat menengah pertama. Guru Bahasa Indonesiaku di sekolah menengah pertama adalah guru yang baik sekali dalam artian ia menguasai bahan yang diajarkan, namun juga tidak mau terpaku pada kurikulum yang digariskan. Kita semua tahu, zaman rezim baru melarang semua buku yang ditulis oleh Pram. Komunis, kata mereka, tanpa pernah mengajarkan apa dan bagaimana sebenarnya komunis itu.
Bu Har, begitu kami memanggilnya, mengenalkan sedikit demi sedikit kepada kami tentang karya-karya Pram kepada kami, murid-muridnya. Cerita dari Blora, Gadis Pantai, dan tetraloginya yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca merupakan buku-buku yang diperkenalkan oleh beliau kepada kami meskipun kami kesulitan mendapatkannya. Dengan sabar Bu Har menceritakan sedikit demi sedikit tentang detail isi buku itu.
Pada pertengahan tahun 90-an, ibuku memperoleh sebuah buku dari kenalannya. Judulnya Memoar Oei Tjoe Tat. Itu adalah sebuah buku tulisan Pram mengenai mentri pertama di Indonesia yang berasal dari keturunan Tionghoa. Lagi-lagi buku itu dilarang. Entah darimana ibuku berhasil memperoleh buku itu. Itu adalah bukuPram pertama yang aku baca.
Setelah kejatuhan Orde Baru, buku-buku karya Pram bisa ditemukan dimana-mana. Aku pun pada akhirnya bisa menikmati tulisan-tulisannya secara bebas. Aku langsung menemukan bahwa tulisan-tulisannya selalu memuat karakter-karakter yang didesain dengan sangat matang. Kisah tentang Minke di tetraloginya membuat pembaca dapat merasakan masa-masa awal pergerakan penduduk pribumi mulai menggunakan tema kebangkitan nusantara sebagai titik tolak perjuangan. Meskipun begitu, Minke tidak selalu digambarkan sempurna. Ia selalu mempunyai latar belakang abu-abu, tidak selalu hitam dan putih. Teman adikku mengatakan bahwa sebenarnya tokoh Minke itu digambarkan "tukang kawin" oleh Pram. Sebuah karakter yang unik.
Sekarang pengarang besar itu telah tiada. Selamat jalan Bung Pram. Karya-karya Anda telah membuat kami melihat bahwa pikiran tidak bisa dibelenggu oleh tirani sekalipun. Karya-karyamu membuat kami bangga bahwa Bahasa Indonesia bisa mempunyai karya sastra yang diakui dunia.
Comments
wah, saya ga tau bung apakah saya komunis. tapi saya tahu bahwa saya bukan berada di golongan berpikiran sempit seperti bung!
BTW, buku tersebut bukan tulisan Pramoedya Ananta Toer. Namun beliau turut berperan sebagai salah satu editornya bersama Stanley.
Boleh nggak saya menghubungi Anda untuk peminjaman.. kontak saya ada di kecoak_tengil (YM)