Kertas


Bangunan Kertas untuk Pengungsi
oleh Prabham Wulung
Kompas, 20 Maret 2015

Jepang dikenal sebagai negara asal seni melipat kertas atau origami. Kertas, sebagai material lemah bahkan rapuh, bisa dibentuk menjadi wujud yang jauh dari bentuk awalnya yang rata. Dari dasar ini pula, di Jepang timbul inovasi dan pencarian bentuk baru untuk menjadikan kertas bisa memiliki fungsi yang sama sekali tak terpikirkan sebelumnya, struktur utama bangunan.

Selama ini, kita berpandangan struktur utama bangunan adalah baja atau beton. Kita juga bisa melihat kekayaan arsitektur vernakular milik nenek moyang yang menjadikan bambu dan kayu sebagai penopang utama rumah-rumah tinggal mereka. Namun, di tengah keterbatasan ketersediaan material, usaha menemukan bahan-bahan baru sebagai sarana struktur utama bangunan atau material pelengkap bangunan sangatlah penting.


Shigeru Ban, arsitek Jepang yang tahun lalu mendapat penghargaan Pritzker Prize, penghargaan paling bergengsi dalam dunia arsitektur, merupakan salah satu arsitek yang mampu memanfaatkan kekuatan kertas untuk dijadikan bangunan yang indah, tetapi berfungsi baik. Ia berusaha menjadikan kertas-kertas bekas yang didaur ulang bisa menjadi bahan utama dari setiap bangunan-bangunan yang dirancang.

Karya Shigeru Ban yang cukup mencengangkan adalah Gereja Kertas (Paper Church) di Kobe yang dibangun pada 1995 dan Gedung Pertunjukan Kertas (Paper Concert Hall) di L’Aquila, Italia pada 2011. Keduanya adalah bangunan sementara. Gereja Kertas dibangun untuk menggantikan Gereja Katolik Takatori yang hancur dan terbakar akibat gempa hebat yang mengguncang Kobe pada 1995. Karena gereja tersebut sangat dibutuhkan masyarakat Takatori tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat bantuan dan pendampingan masyarakat yang terkena bencana, Shigeru Ban merancang bangunan sementara yang ringan dan mudah dibangun.

Gereja Kertas dibangun dengan tiang-tiang silinder yang dibuat dari kertas yang didaur ulang, lalu diberi lapisan pelindung agar tidak mudah terbakar. Di atas tiang-tiang tersebut lalu ditutup dengan kain yang terlapiskan bahan teflon untuk melindungi umat dari hujan. Karena sederhana, bangunan ini dapat didirikan oleh masyarakat bersama-sama dengan cepat dan murah. Meski begitu, dengan pendampingan penuh dari sang arsitek, gereja ini terlihat sangat cantik layaknya gereja yang dibangun dengan bahan mahal.

Setelah bangunan gereja yang sebenarnya terbangun, Gereja Kertas ini tetap difungsikan sebagai pusat komunitas. Pada 2006, gereja ini, karena sifatnya yang ringan dan mudah diangkut, dipindahkan ke Desa Taomi di Taiwan yang juga menderita akibat gempa. Sampai saat ini, bangunan tersebut masih berdiri di desa itu.

Sementara itu, pada Gedung Pertunjukan Kertas, Shigeru Ban melakukan eksperimen bersama dengan mahasiswa di universitas di Keio, Harvard, dan L’Aquila. Tujuannya, membangun gedung pertunjukan yang murah dan bisa dibangun oleh mahasiswa, tetapi mampu menjadi tempat pertunjukan musik yang mumpuni bagi L’Aquila, yang juga dirundung gempa yang menghancurkan pada 2009.

Konsepnya mirip dengan Gereja Kertas dengan tiang-tiang silinder terbuat dari kertas karton untuk menopang struktur baja yang menahan atap. Untuk ruang orkestranya sendiri, tiang-tiang silinder kertas dibuat lebih rapat yang dibantu dengan dinding yang diisi dengan karung pasir sehingga ruang pertunjukan tidak hanya menjadi kedap suara, tetapi juga mampu meredam suara dengan baik.

Shigeru Ban juga merancang Pavilion Jepang di Hannover Expo pada 2000. Karena bangunan ini sangat besar, pemerintah Jerman saat itu tidak mengizinkan bangunan hanya ditopang oleh struktur tiang kertas. Pemerintah Jerman, yang takut tiang kertas tidak cukup kuat untuk menjadi struktur utama, memerintahkan Shigeru Ban menggantinya dengan struktur kayu. Melalui perdebatan panas, akhirnya diputuskan untuk mencampurkan struktur kertas dan kayu.

Bahan penutup utama juga dibuat dari bahan utama kertas yang tercampur dengan material PVC untuk melindungi ruangan dalam dari cuaca buruk. Interior bangunan juga terbuat dari bahan kertas yang terbentuk dengan mengambil inspirasi dari rumah lebah (honeycomb).


Untuk pengungsi

Shigeru Ban juga dikenal sebagai arsitek bagi para pengungsi. Pada saat bersamaan, ia juga membangun rumah bagi para pengungsi yang kehilangan tempat tinggalnya akibat gempa Kobe. Rumah untuk para pengungsi tersebut dibuat dari tiang-tiang kertas yang didirikan rapat sebagai dinding, lalu atapnya menggunakan bahan tenda. Rumah ini, yang dinamai Paper Log House, diapresiasi oleh para penghuni karena nyaman dan laik fungsi. Karena dianggap berhasil, konsep rumah pengungsi ini kembali dipakai ulang saat gempa di Turki pada 2000 dan India pada 2001. 
Konsep ini kemudian banyak dimodifikasi secara bentukan dan sistem pemasangan, tetapi masih menggunakan tiang silinder dari kertas daur ulang sebagai struktur utama. Rumah-rumah pengungsi yang menggunakan konsep ini antara lain untuk pengungsi di Sri Lanka pada 2007, Tiongkok pada 2008, dan Haiti pada 2010.

Konsep yang lumayan berbeda dibangun Shigeru Ban di Onagawa sehabis tsunami yang meluluhlantakkan kota pada 2011. Ia membangun rumah pengungsian dari kontainer barang yang disusun sehingga menyerupai bangunan apartemen. Lalu di antara kontainer-kontainer tersebut, ia mendirikan bangunan semi-terbuka sebagai tempat berkumpul dan bersosialisasi yang lagi-lagi menjadikan tiang-tiang kertas dan tenda kertas sebagai unsur utamanya. Karena sederhana dan mudah dipasang-lepas, sistem kontainer ini bisa dibangun di area yang sesungguhnya memiliki fungsi lain seperti stadion olahraga. 

Prabham Wulung
Arsitek dan pemerhati kota 
@prabhamwulung



Comments

Popular posts from this blog

Kicau

Rumah

20