King
Liburan sekolah baru saja usai. Persoalan klasik tentang anak-anak Indonesia yang kesulitan menemukan bangku sekolah kembali muncul. Tapi ada yang bisa sedikit dicatat dari liburan kemarin ini, yaitu munculnya banyak film anak-anak Indonesia. Di tengah serbuan film horor dan komedi nakal, munculnya film anak-anak seperti Garuda di Dadaku dan King pantas diapresiasi.
Di antara film Indonesia yang sedang beredar di bioskop, yaitu Maling Kuburans, Ketika Cinta Bertasbih, Garuda di Dadaku, dan King, aku memutuskan menonton yang terakhir. Alasan pertama adalah orisinalitas ide film. Aku melihat bahwa pengangkatan tema bulutangkis sebagai main core isi film lumayan brilyan. Sebagai salah satu parfum bangsa Indonesia di arena olahraga internasional, sudah layak dan sepantasnya bulu tangkis dijadikan kebanggan bersama. Film King melakukan itu.
Ari Sihasale, sebagai produser dan sutradara, terlihat jelas dalam membawa arah film. Dari gambar-gambar indah di dataran tinggi Tengger, anak-anak yang memiliki mimpi menjadi pemain bulutangkis, dan munculnya tokoh-tokoh pahlawan bulutangkis sebagai cameo, semuanya membawa ke muara yang sama. Ya, mudah buat penonton untuk melihat bahwa film ini menginginkan penonton segera tumbuh rasa cinta tanah air, menjalin persahabatan yang tulus antar anak bangsa, dan mau mengikuti pahlawan bangsa sebagai patron.
Jalan ceritanya sebenarnya sederhana saja. Tentang anak desa di perdesaan kabupaten Banyuwangi bernama Guntur, yang dilatih keras oleh bapaknya untuk menjadi pemain bulutangkis. Sang bapak, yang mengidolakan Lim Swie King, sangat meninginkan anaknya mampu menjadi seperti idolanya. Dibantu oleh kawan-kawan kecilnya, Guntur mencoba melakukan semua usaha keras itu untuk mewujudkan cita-cita sang bapak.
Semuanya menjadi jelas ketika Guntur mampu terpilih untuk mengikuti seleksi beasiswa PB Djarum di Kudus, sebuah nama Persatuan Bulutangkis yang selalu melahirkan pahlawan-pahlawan bulutangkis Indonesia, termasuk Lim Swie King. Namun ketiadaan biaya menghambat Guntur untuk meninggalkan desanya. Namun akibat bantuan kawan-kawan kecil dan warga sedesanya, mimpi Guntur bisa diwujudkan. Di pusat pelatihan PB Djarum inilah Guntur bertemu idola bapaknya.
Dari penulisan skenario, aku masih merasa banyak cerita yang melompat-lompat. Antara frame satu dengan yang lain juga terlalu dipaksakan. Klimaksnya pun kurang menggigit. Mungkin karena ini pengalaman pertama Ari Sihasale menjadi sutradara, hal tersebut boleh dimaklumi.
Meski begitu, aku salut akan keberpihakannya kepada sisi kemanusiaan yang diusung. Dari film Denias (sebagai produser), juga King ini (sebagai produser dan sutradara), Ari Sihasale selalu berusaha membuat film yang menampilkan sisi lain bangsa ini. Menonton film-filmnya selalu membuka mata tentang keindonesiaan yang lugu, naif, apa adanya, tapi juga indah. Plus sedikit pesan untuk menjadi seorang nasionalis.
Di film King, aku melihat perkampungan di dataran tinggi yang rapi dan teratur meskipun sederhana. Sisi kiri kanan jalan dibuat batu berundak-undak. Mengingatkan buku "Architecture without Architect" yang pernah aku baca di perpustakaan kampus dulu.
Yang paling aku suka tentu saja frame bermuatan lanskap savana yang ternyata ada di Jawa Timur sana. Kijang (?) yang berlarian di atas savana hijau membuatku semakin yakin bahwa Indonesia memang tidak pernah kekurangan tempat yang indah.
Sebetulnya Tuhan terlalu baik pada bangsa ini.
Di antara film Indonesia yang sedang beredar di bioskop, yaitu Maling Kuburans, Ketika Cinta Bertasbih, Garuda di Dadaku, dan King, aku memutuskan menonton yang terakhir. Alasan pertama adalah orisinalitas ide film. Aku melihat bahwa pengangkatan tema bulutangkis sebagai main core isi film lumayan brilyan. Sebagai salah satu parfum bangsa Indonesia di arena olahraga internasional, sudah layak dan sepantasnya bulu tangkis dijadikan kebanggan bersama. Film King melakukan itu.
Ari Sihasale, sebagai produser dan sutradara, terlihat jelas dalam membawa arah film. Dari gambar-gambar indah di dataran tinggi Tengger, anak-anak yang memiliki mimpi menjadi pemain bulutangkis, dan munculnya tokoh-tokoh pahlawan bulutangkis sebagai cameo, semuanya membawa ke muara yang sama. Ya, mudah buat penonton untuk melihat bahwa film ini menginginkan penonton segera tumbuh rasa cinta tanah air, menjalin persahabatan yang tulus antar anak bangsa, dan mau mengikuti pahlawan bangsa sebagai patron.
Jalan ceritanya sebenarnya sederhana saja. Tentang anak desa di perdesaan kabupaten Banyuwangi bernama Guntur, yang dilatih keras oleh bapaknya untuk menjadi pemain bulutangkis. Sang bapak, yang mengidolakan Lim Swie King, sangat meninginkan anaknya mampu menjadi seperti idolanya. Dibantu oleh kawan-kawan kecilnya, Guntur mencoba melakukan semua usaha keras itu untuk mewujudkan cita-cita sang bapak.
Semuanya menjadi jelas ketika Guntur mampu terpilih untuk mengikuti seleksi beasiswa PB Djarum di Kudus, sebuah nama Persatuan Bulutangkis yang selalu melahirkan pahlawan-pahlawan bulutangkis Indonesia, termasuk Lim Swie King. Namun ketiadaan biaya menghambat Guntur untuk meninggalkan desanya. Namun akibat bantuan kawan-kawan kecil dan warga sedesanya, mimpi Guntur bisa diwujudkan. Di pusat pelatihan PB Djarum inilah Guntur bertemu idola bapaknya.
Dari penulisan skenario, aku masih merasa banyak cerita yang melompat-lompat. Antara frame satu dengan yang lain juga terlalu dipaksakan. Klimaksnya pun kurang menggigit. Mungkin karena ini pengalaman pertama Ari Sihasale menjadi sutradara, hal tersebut boleh dimaklumi.
Meski begitu, aku salut akan keberpihakannya kepada sisi kemanusiaan yang diusung. Dari film Denias (sebagai produser), juga King ini (sebagai produser dan sutradara), Ari Sihasale selalu berusaha membuat film yang menampilkan sisi lain bangsa ini. Menonton film-filmnya selalu membuka mata tentang keindonesiaan yang lugu, naif, apa adanya, tapi juga indah. Plus sedikit pesan untuk menjadi seorang nasionalis.
Di film King, aku melihat perkampungan di dataran tinggi yang rapi dan teratur meskipun sederhana. Sisi kiri kanan jalan dibuat batu berundak-undak. Mengingatkan buku "Architecture without Architect" yang pernah aku baca di perpustakaan kampus dulu.
Yang paling aku suka tentu saja frame bermuatan lanskap savana yang ternyata ada di Jawa Timur sana. Kijang (?) yang berlarian di atas savana hijau membuatku semakin yakin bahwa Indonesia memang tidak pernah kekurangan tempat yang indah.
Sebetulnya Tuhan terlalu baik pada bangsa ini.
Comments
emha ainun nadjib adalah salah satu patronku dalam menulis. tulisannya enteng, tidak menggurui, namun mengena.
may god bless indonesia
biar keren
>>simon
jangan yg bajakan ya