Rumah

Rumah rancangan Geoffrey Bawa. Foto oleh Adrian Snell


Rumah, betapa pun kecil dan sederhananya, selalu menjadi istana bagi yang mendiami. Idealisme itu yang kami, aku dan istri, usung ketika memutuskan menikah dan berpikir rumah seperti apa yang akan kami tempati. Kami tidak ingin memiliki rumah dengan kamar-kamar yang besar dan megah namun kering di dalamnya. Kalau diizinkan oleh Sang Empunya Hidup, kami ingin memiliki rumah sederhana yang angin bebas mengalir masuk dan keluar sehingga yang mendiami merasa sejuk.

Kira-kira 6 bulan sebelum menikah sebenarnya kami sudah memulai untuk berburu rumah. Beberapa perumahan sempat kami datangi. Ternyata kami harus berpikir ulang. Membeli rumah di perumahan memang akan memudahkan mendapat kredit, tapi rumah yang dijual tidak ada yang sesuai dengan gaya kami. Terlalu membosankan dan bentuknya itu-itu saja. Garing (dan juga mahal hehe).

Kami pun beralih pikiran untuk membeli tanah saja. Dengan membeli tanah, kami bisa membangun rumah dari nol sesuai dengan keinginan kami. Tidak perlu merubuhkan rumah seperti kalau kami membeli rumah yang sudah jadi. Tapi ternyata membeli kapling tanah di perumahan tetap mahal. Tidak sesuai dengan keadaan keuangan kami.

Kesibukan mempersiapkan pernikahan sempat membuat kami melupakan memiliki tanah. Tapi 2 bulan sebelum menikah sebidang tanah di bilangan Setu, Jakarta Timur sempat membuatku jatuh cinta. Namun ternyata kepemilikannya tidak jelas. Dari situlah justru sebidang tanah yang lain menghampiri. Karena tahu sedang ingin memiliki tanah, seorang teman lama bapakku menawarkan sebidang tanah di Kampung Sawah. 300 meter persegi. Sebenarnya bagi kami tanah sebesar itu terlalu luas bagi keluarga baru seperti kami. Namun harganya tidak terlalu mahal. Memang lumayan jauh. Kalau Anda melalui Jalan Tol Lingkar Luar, Anda bisa keluar di pintu tol Jatiwarna dan kemudian lurus ke arah Kampung Sawah. Tentu saja kami tak pernah berharap bisa memiliki rumah di tengah kota dengan kondisi keuangan kami. Pilihannya tentu saja lokasi bagus harga mahal atau lokasi "Ujung Berung" harga terjangkau.

Yang aku suka, tanah tersebut berada di kampung, bukan komplek perumahan. Masih rimbun dan hijau. Kiri kanan masih kebun. Sekitarnya banyak orang penduduk asli. Banyak anjing dan ayam berkeliaran juga. Ndeso pkoknya, sesuai dengan jiwa kami, penghuninya, yang ndeso juga. Mungkin kami menyukai tanah ini karena kami berdua juga dibesarkan dalam lingkungan perkampungan. Pokoknya kami tetap ingin jadi orang kampung yang semoga tidak kampungan seperti anggota DPR.

Pikir punya pikir, kami memutuskan INGIN membeli tanah tersebut. Tapi seterjangkaunya harga, kalau dikalikan 300 ya tetap saja jadi mahal. Uang kami jauh dari cukup. Apalagi kami harus membiayai pernikahan kami sendiri. Pernikahan tinggal satu setengah bulan, namun keputusan harus dibuat. Bank tidak dapat diandalkan karena tanah kami masih bersifat akte jual beli. Bank baru bisa membiayai pembelian tanah kalau statusnya sertifikat hak milik. Menjual diri? Tidak laku juga ternyata.

Kabar baik datang ketika kakak istriku (yang waktu itu belum menjadi istri) menawarkan untuk mengagunkan surat pengangkatan pegawai negri miliknya untuk meminjam di sebuah bank (Aku baru tahu ada jenis agunan semacam ini: surat pengangkatan pegawai negri. Sayang surat pengangkatan pegawai swasta tidak berlaku. Tidak heran banyak orang berbondong-bondong ingin menjadi pegawai negri.) Tapi ternyata itu pun tidak cukup. Ya sudah. Pasrah. Kami berpikir kalau toh tanah itu jodoh kami pasti akan kembali kepada kami. CLBK istilah ABG sekarang, alias Cinta Lama Bersemi Kembali.

Hal tersebut (CLBK itu lho) ternyata terjadi. Sang pemilik tanah, entah kasihan, entah butuh uang, entah tidak bisa menemukan pembeli lain yang sepasrah kami, akhirnya merelakan tanah itu dibayar dengan uang yang ada ditambah pinjaman bank tersebut. Sisanya bisa dibayar setelah kami menikah. Setelah melewati berbagai tahap proses jual beli hingga kelurahan, secara surat menyurat tanah itu menjadi milik kami. Tentu saja secara de facto tanah itu masih hutang, baik kepada pemilik tanah maupun kepada mbak kami yang baik hati mau merelakan surat pengangkatan pegawai negrinya.

Walah!! Aku yang selama ini kerjaannya mbikin rumah orang lain, kemudian memiliki tanah kosong milik sendiri, tentu saja seperti menemukan mainan baru. Kalau ada waktu, sebidang tanah yang masih banyak pohon rambutannya itu aku utak-atik. Pokonya tidak ada klien bodoh yang membatasi. Yang ada cuma imajinasiku dan... ehm... biaya. Ya biaya pasti menjadi halangan karena uang kami habis untuk membayar cicilan tanah dan kehidupan sehari-hari. Palingan kalau ada pekerjaan sampingan memotret bisa untuk ditabung. Namun merancang sih jalan terus.

Geoffrey Bawa, Romo Mangun, dan Eko Prawoto menjadi patronku dalam merancang rumah ini. Seperti aku tulis di atas, kami ingin memiliki rumah yang sederhana, membumi, tapi nyaman untuk ditinggali. Ketiga arsitek di atas bagiku cocok dalam mempengaruhiku dalam membangun rumah ini nantinya. Aku tidak ingin rumah berarsitektur avant garde seperti Zaha Hadid, tidak juga canggih ala Norman Foster. Ini hasil drafting aku akan rumah kami nantinya. Masih iseng-iseng dan masih bisa berubah. Masih mentah deh pokoknya.

Rumah yang tidak akan selesai

Nah karena kami ingin segera pindah dari Pondok Mertua Indah, kami memutuskan untuk membangun dengan bertahap. Aku sudah merancang rumah ini menjadi rumah tumbuh. Artinya, meskipun dibangun dengan sedikit-sedikit, nantinya rumah ini tidak perlu banyak merombak ketika tahap pembangunannya dilanjutkan. Keputusan dibuat untuk membangun satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Yang penting bisa tidur dan bisa buang hajat. Sedikit ruang sengaja dilebihkan untuk dapur darurat dan tempat mencuci piring. Gubuk derita, mungkin akan terlihat seperti itu. Tapi tiada mengapa.


Ngebor pompa tanpa Inul

Akhir pekan lalu, langkah pertama dibuat. Kami memasang pompa air. Ternyata memasang pompa air menghabiskan uang 5 juta rupiah, dan tabungan kami pun langsung habis. Ada sedikit sisa, tapi minggu depan kami berencana menebang beberapa pohon yang sudah tua (kami akan menebang sedikit mungkin pohon. Selain go green man!!, konsep dari Romo Mangun, Geoffrey Bawa, dan Eko Prawoto ingin agar kita membangun tanpa merusak alam). Rencananya menabung lagi untuk membuat septic tank. Nanti kalau ada duit lagi membuat pondasi. Demikian selanjutnya.

Mungkin rumah ini tak kan selesai. Terus berproses, terus tumbuh. Mengikuti jiwa-jiwa penghuninya, yang semoga terus semakin tumbuh menjadi jiwa yang lebih bijaksana.

Comments

Anonymous said…
busetttt.. kampung sawah? dimana tuh?? masih di indonesia?
rini.suryantini said…
selamat abham & susi! semoga cita-cita rumah tumbuhnya bisa tercapai seperti yang diharapkan. enak ya, bham ada mainan baru utak-utik sana sini?! =D senangnya... jadi pengen juga. eh, tar ga perlu jadi 100% langsung open house ya!!
prabhamwulung said…
>>toto
masih, tepatnya di kabupaten bekasi. kalau ditarik garis lurus dari monas sekitar 35 km. kalau naik motor dari kuningan (lancar) 1 jam, (macet) 1.5 jam, (jakarta banjir) tak bisa diprediksi

>>rini
nanti open house, setelah rumah jadi, tahun 2035, rini, guntur, rana, dan adiknya kami undang (dengan catatan kalian sudah pulang dari jerman)
Anonymous said…
wuahhh....haibattt!!! (kalo kata seno gumira..)asik juga bham punya tanah ndiri bisa dibangun apaan aja....gua baru dapet tanah 1 pot doang neh...:)

hidup abham dan susi...
prabhamwulung said…
>>mas yoso yang suka bergerrilya

nah itu gw ga kepikiran so.. kumpulin aja so, tiap hari 1 pot.. ntar lama2 bisa satu truk.. gratis lagi...
Anonymous said…
wah bener tuh bham, tp yg gw bingung, ntar naro tanah yg 1 truk itu di lahannya siapa yak???
ditunggu openhousenya di forum BD..
prabhamwulung said…
>>satan
baiklah, saya presentasikan rumah ini di BD tahun 2035.. be prepared..!!
Anonymous said…
Terima kasih atas infonya....
Sangat bermanfaat....
okta zaida said…
mau liat ah jadi rumahnya kayak apa...penasaran pakah ada yang membawa CYK legacy berikutnya...:p
salam kenal..
priyatnadp said…
wah nama daerahnya keren ricefield village.., selamat mas bham semoga makin lancar order motonya biar cepet jadi rumahnya
prabhamwulung said…
>>rumah tinggal aka raul
halahhh

>>okta
kan kita sudah kenal di ubud :)

>>mpri
oh iya ya.. ricefield...
hahaha
Pepih Nugraha said…
Blog yang keren, mas... Saya undang Anda menulis di http://kompasiana.com, gimana? Pasti banyak orang suka gaya bahasanya yang sederhana namun mengena...
prabhamwulung said…
>>pepih nugraha
saya tersanjung mas.. boleh...
Win Luy said…
Two thumb up buat abham en istri!
Keep Semanga, pasti cita2nya tercapai! aamiin.
Undang2 jg ya kalo open house, hehe...

Popular posts from this blog

Kicau

Galuh