AMI


Beberapa hari yang lalu, temanku semasa kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia sedikit bercerita tentang sebuah polemik. Ini ada hubungannya dengan sekumpulan arsitek yang menganggap diri mereka muda, sering berserikat dan berkumpul, serta menamakan diri mereka Arsitek Muda Indonesia (AMI).

Pendek kata, cerita temanku itu, ada sebuah film dokumenter yang sedang dibuat menceritakan tentang sejarah panjang perjalanan arsitektur di Indonesia. Beberapa arsitek yang ikut menjadi bagian sejarah itu diwawancara. Dari era Soewondo Bismo Soetedjo, Han Awal, dan kawan-kawan yang menjadi bagian dari perjalanan pendidikan arsitektur Indonesia di awal kemerdekaan, berlanjut ke era Yuswadi Saliya bersama Atelier 6, lalu Goenawan Tjahjono dan Budi Sukada, sampai ke era Arsitek Muda Indonesia. Beberapa arsitek yang benar-benar memang masih muda, beberapa saya kenal sebagai junior di kampus, turut pula diwawancara.

Entah karena ketidaksigapan sang sutradara, atau kesalahan editor, atau memang nasib sedang tidak baik (Benyamis S., pelawak almarhum kebanggaan kita bersama, mengistilahkan sebagai "bintang lagi gelap"), justru arsitek-arsitek muda junior saya itulah yang dalam film tersebut ditulis sebagai "Arsitek Muda Indonesia".

Tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada pembuat film. Menurut temanku, mereka arsitek, mereka masih muda, dan mereka, saya tahu persis hal ini, warga negara Indonesia dan bangga karenanya. Tidak salah kan sebenarnya kalau mereka disebut arsitek yang masih muda dari Indonesia? Tapi cerita berlanjut. Para AMI itu, yang di film tersebut justru tidak muncul batang hidungnya karena diganti "anak kemarin sore" tidak terima kalau "anak ingusan" yang dianggap AMI.

Sialnya (benar-benar bintang lagi gelap), beberapa "anak kemarin sore" itu bekerja di kantor arsitek yang dipunya para "AMI-AMI" itu. Yah, kata-kata panas, sindiran dari para bos, hinggap di kuping mereka. Intinya, mereka tidak rela nama AMI disandang si bau kencur.

Akhirnya, "AMI asli" meminta "AMI palsu" untuk menyelenggarakan pameran arsitektur sebagai proses memasuki AMI sesungguhnya. Cukup adil, tapi aneh.

AMI sendiri bukanlah sebuah organisasi resmi, hanya forum diskusi. Semuanya dimulai ketika para penggagasnya baru lulus dari dunia akademis di penghujung tahun 80-an. Mereka resah akan dunia arsitektur di Indonesia yang tidak menawarkan pemikiran baru dan mulai dikooptasi arsitek asing. Sebuah gagasan yang mulia dan penuh idealisme.

Saat itu mereka memang masih muda. Jiwa-jiwa memberontak memang selalu tumbuh di tubuh yang masih muda, bukan?

Dalam perjalanan waktu, beberapa orang yang bergiat di dalamnya seperti Marco Kusumawijaya memang menonjol dalam perlawanannya demi kota-kota di Indonesia yang manusiawi. Beberapa mendirikan biro konsultan yang cukup punya nama. Beberapa menjadi penanda bahwa perjuangan mereka untuk menjadikan arsitek Indonesia menjadi tuan rumah di negri sendiri cukup berhasil. Karya-karya mereka menghiasi majalah-majalah dan buku-buku di rak-rak toko buku utama. Masyarakat semakin mengerti pentingnya arsitek dalam dunia sehari-hari. Mahasiswa arsitektur menjadikan mereka patron, termasuk saya.

Semakin tua, orang semakin bijak. Juga semakin mapan. Kemapanan membuat pemikiran mandek, tidak lagi mencari sesuatu yang baru. Beberapa memang terus melaju dengan pemikiran dan bangunan yang cerdas. Sayangnya, beberapa di dalam diri mereka selalu menganggap mereka masih pantas menyandang arsitek dari Indonesia yang muda, namun sesungguhnya stagnan dalam ide.

Kritikan-kritikan terhadap mereka sering ditanggapi dengan defensif oleh mereka dalam forum-forum diskusi. Arsitek-arsitek yang benar-benar muda dan segar yang baru lulus merasa lelah dengan bangunan-bangunan "itu-itu saja" yang dihasilkan AMI-AMI ini.

AMI dianggap terlalu "Jakarta-Bandung sentris". Padahal Indonesia jauh lebih luas dari itu. Mereka juga dianggap terlalu "nyelebritis". Selain itu sering terlalu berpacu dalam tataran kulit melulu. Tentang ini, Andrea Paresthu, seorang urbanis yang sedang mengajar di Eropa pernah menulis kritikan yang tajam di Kompas. Waktu itu AMI sedang melaksanakan proyek mengecat rumah kumuh di Teluk Gong di Jakarta Barat. Buat Paresthu, proyek ini sangat populis, menghabiskan uang, tidak ada dampaknya bagi penghuni, dan terbukti, permukiman itu tidak berubah menjadi lebih baik. Tidak ada pemberdayaan masyarakat di sini. AMI mencontoh Romo Mangun di proyek Kali Code, tapi sekali lagi kulitnya saja.

Romo tinggal dan berbincang dengan penduduk. Romo mendengarkan kebutuhan penduduk. Romo mendampingi. AMI? Datang, membagi-bagi cat dinding, mengecat bersama mahasiswa dan sebagian penduduk, foto bersama, lalu ditinggal. Selesai.

Karena media di Indonesia juga masih Jakarta sentris, tidak aneh bila arsitektur Indonesia didominasi sepak terjang AMI. Tentu saja arsitektur Indonesia saat ini tidak melulu AMI. Sungguh. Banyak arsitek jauh dari sudut-sudut gemerlap kota besar yang bekerja sepenuh hati menjaga integritas profesi dengan pemikiran segar. TIME edisi 10 Desember 2007 menulis tentang Eko Prawoto, arsitek asal Yogyakarta. Eko Prawoto sangat cerdas memainkan material lokal dalam ranah arsitektur modern. Kiprah barefoot architects di Aceh dan Nias juga sangat perlu kita apresiasi. Pendampingan mereka bersama masyarakat lokal menyadarkan bahwa arsitek tidak cuma diperlukan oleh bintang film, pengusaha, pejabat, atau seniman. Arsitek bisa berperan di masyarakat bawah. Jauh lebih berperan.

**Foto: Sampul Buku Watucitra karangan Y. B. Mangunwijaya, S. J.

Comments

Anonymous said…
Saya mengenal arsitektur lewat istri saya yg kebetulan jebolan teknik arsitektur juga.

Memang menarik, apalagi kalo di lihat dari semrawutnya tata kota di beberapa kota d negara kita
prabhamwulung said…
>>detnot
salam kenal.. menarik juga isi blog anda
priyatnadp said…
AMI adikmu apakabar bham? Jadi sekolah lagi? semoga jadi AMI yang lebih grounded daripada AMI yang lainnya.
prabhamwulung said…
>>priyatna
baik2 sahaja
paling kedingunan
peranita said…
hiks...tulisanmu ini membuatku terharu.
benar2 menusuk AMI :)

dunia para arsitek memang masih banyak yang perlu di benahi...
aku setuju, berfikir telah mapan berarti mandek...atau boleh kukatakan berarti tua?
prabhamwulung said…
>>peranita
salam kenal..
ya semoga membuka mata bahwa arsitektur di Indonesia tidak selalu Arsitek Muda Indonesia yang sebenarnya sudah tidak muda lagi
LostAngel said…
Wah...sebagai seorang bayi yang baru membuka mata di dunia arsitektur, saya sangat tertarik dengan kegiatan2 AMI. Kira2 bagaimana ya saya bisa terlibat?
Tulisannya mas Abham mantap sich..cocok ma aliran saya..hehehe..
salut bang
prabhamwulung said…
>>lostangel
anda bisa coba untuk masuk di mailing list forum AMI di forumami@yahoogroups.com
Anonymous said…
eh, gue ude lama ngeliat, tapi baru 'baca' sekarang..since you've gone..ha..ha..

kayaknya gue pernah nyari buku wastu citranya deh..lu masih ada pak? kalo ada mampirin dong ke basecamp ya..

anyway, you are right about AMI..target gue bikin perkumpulan sendiri, APTI dan ATI; Arsitek pengen nge-top Indonesia, dan Arsitek Top Indonesia.

Bedanya justru ada di bank account, APTI masih bokek, dan ATI ude kaya raya. So when they reach certain amount of money, otomatis naek kelas. Lebih fair kayaknya...

(omongan ngelantur, jangan dibahas)

Gue yakin lu sukses!

Raul Renanda
prabhamwulung said…
>>raul renanda
haha.. wah kaget elu masuk blog gue..
ya begitulah dunia.. kadang terasa tidak fair.. tapi tetap harus dijalani, bukan?
sukses juga dengan mimpi2 elu
peresthu said…
Anda penulis yang baik. Sederhana dan mengandung pesan untuk khalayak! Tulisan anda mengingatkan saya dengan berbagai pergulatan kami sepuluh tahun lalu. Saya mengundang anda untuk berkunjung ke Eropa (Belanda-Delft). This is an open invitation!

Salam, Andrea Peresthu
prabhamwulung said…
>>andrea
wah anda masuk juga ke blog saya.
salam

Popular posts from this blog

Kicau

20

Rumah