Remaja
Hari Minggu lalu, setelah sedikit dipaksa oleh adikku yang berusia 15 tahun, aku menonton film remaja Cintapuccino. Lumayan, meskipun tidak terlalu baik. Apalagi aku juga sudah membaca novelnya. Jadi bisa terbayang film seperti apa yang akan ditonton.
Tapi entahlah. Ada yang sedikit harus digugat di sini. Sebetulnya, Cintapuccino, baik dalam bentuk novel dan film, tidak tepat untuk remaja. Di novelnya, banyak diceritakan adegan ciuman dan "hubungan fisik laki-laki dan perempuan" secara gamblang. Di filmnya, juga ada adegan merokok dan semacamnya yang tentu tidak tepat bagi kalangan remaja. Mungkin tepatnya, ini adalah tentang kisah pemudi (Ami, sang tokoh utama) tentang masa remajanya.
Mungkin aku jadi sedikit naif kalau membayangkan bagaimana adik perempuanku yang berusia 15 tahun itu membaca novelnya yang "lumayan dewasa" itu. Apalagi ia membaca novel itu 2 tahun lalu, saat usianya 13 tahun. Aku yang sok dewasa, atau memang justru batas usia remaja itu semakin memuda? Atau justru makin menua, karena hal yang seharusnya diperuntukkan bagi usia di atasnya, justru dengan mudah bisa dinikmati oleh usia yang lebih muda?
Entahlah, tapi aku coba membandingkan dengan diriku ketika aku berusia antara 12 tahun hingga 15 tahun. Hmmm, ketika aku seusianya, batas permainanku adalah bermain sepeda di kampung sekeliling rumahku hingga jauh, bermain bola di kebun rambutan samping rumah Haji Ali, menerbangkan layang-layang sampai genteng rumah tetanggaku pecah, atau kalau membaca, yang aku baca adalah Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, atau beberapa tulisan Gola Gong dan Hilman Hariwijaya. Film yang aku tonton? Saur Sepuh dan sejenisnya yang aku tonton di layar tancap setiap ada hajatan kawinan. Maklum, aku anak kampung. Meskipun jaringan bioskop 21 yang dimiliki pengusaha Sudwikatmono sudah ada di Jakarta, tapi terus terang aku baru menjejakkan kaki di bioskop mewah itu ketika aku memasuki SMA.
Tapi memang zaman berubah. Kebun rambutan tempat aku bermain bola sudah menjadi rumah-rumah petak kontrakan. Layar tancap makin terpinggirkan. Novel-novel dan film-film untuk remaja pun sudah menjadi semakin "tua". Lalu, adikku sudah tidak memiliki pilihan lain selain menikmati yang sudah disodorkan para pemodal besar itu.
Tapi entahlah. Ada yang sedikit harus digugat di sini. Sebetulnya, Cintapuccino, baik dalam bentuk novel dan film, tidak tepat untuk remaja. Di novelnya, banyak diceritakan adegan ciuman dan "hubungan fisik laki-laki dan perempuan" secara gamblang. Di filmnya, juga ada adegan merokok dan semacamnya yang tentu tidak tepat bagi kalangan remaja. Mungkin tepatnya, ini adalah tentang kisah pemudi (Ami, sang tokoh utama) tentang masa remajanya.
Mungkin aku jadi sedikit naif kalau membayangkan bagaimana adik perempuanku yang berusia 15 tahun itu membaca novelnya yang "lumayan dewasa" itu. Apalagi ia membaca novel itu 2 tahun lalu, saat usianya 13 tahun. Aku yang sok dewasa, atau memang justru batas usia remaja itu semakin memuda? Atau justru makin menua, karena hal yang seharusnya diperuntukkan bagi usia di atasnya, justru dengan mudah bisa dinikmati oleh usia yang lebih muda?
Entahlah, tapi aku coba membandingkan dengan diriku ketika aku berusia antara 12 tahun hingga 15 tahun. Hmmm, ketika aku seusianya, batas permainanku adalah bermain sepeda di kampung sekeliling rumahku hingga jauh, bermain bola di kebun rambutan samping rumah Haji Ali, menerbangkan layang-layang sampai genteng rumah tetanggaku pecah, atau kalau membaca, yang aku baca adalah Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, atau beberapa tulisan Gola Gong dan Hilman Hariwijaya. Film yang aku tonton? Saur Sepuh dan sejenisnya yang aku tonton di layar tancap setiap ada hajatan kawinan. Maklum, aku anak kampung. Meskipun jaringan bioskop 21 yang dimiliki pengusaha Sudwikatmono sudah ada di Jakarta, tapi terus terang aku baru menjejakkan kaki di bioskop mewah itu ketika aku memasuki SMA.
Tapi memang zaman berubah. Kebun rambutan tempat aku bermain bola sudah menjadi rumah-rumah petak kontrakan. Layar tancap makin terpinggirkan. Novel-novel dan film-film untuk remaja pun sudah menjadi semakin "tua". Lalu, adikku sudah tidak memiliki pilihan lain selain menikmati yang sudah disodorkan para pemodal besar itu.
Comments
aku sih blom nonton+blom baca juga novelnya, padahal pengarangnya kakak kelas waktu kuliah dulu...agak-agak geli soalnya sama chicklit :P
emang sih kayanya kita ketinggalan jaman banget deh kalo dibandingin sama anak muda sekarang *taela kesannya tuir banget*. ada postingan lucu nih di blognya temenku
sebenernya nontonnya juga sama "ehm2ku".. dia udah baca novelnya juga.. aku menyebut adikku aja soalnya lagi pengen nekenin masalah "remaja"..
hehe
iya aku tau kok pengarangnya anak arsitek itb 96
tp abis nonton kita malah bt sendiri..wong ceritanya ttg org dewasa tp sama sekali ga dewasa dan target penontonnya jg ga bener itu..asli bt bgt..
mrt kita bedua film itu ga ngajarin penontonnya utk bersikap bijak, dan terlebih lg ga ngajarin mana yg prinsip mana yg engga..
lucunya hal spt ini ga cm di film aja tp real ada dlm kehidupan sehari-hari..
malah film hollywood yg asalnya dr negara liberal begono bs bikin film yg bagus kaya my best friend wedding..
komen gw kebanyakan yak huehehehe..
cie yg nonton sm hubby..
jadi pengen punya hubby..(lho?)