Mohamad
Ini Mohamad kelahiran Batang, Jawa Tengah. Seorang sastrawan besar yang dimiliki Indonesia saat ini. Goenawan Mohamad nama lengkapnya.
Kalau Anda suka membaca majalah Tempo, majalah yang juga kelahirannya dibidani olehnya, Anda tentu tak akan pernah melupakan tulisan-tulisan di Catatan Pinggirnya. Tulisannya tidak rumit, namun mampu menembus ke sela-sela persoalan terdalam yang dihadapi bangsa ini. Tidak menggurui, tapi selalu menuntun ke kehidupan yang saling menghargai.
Ada pengalaman tersendiri dari saya tentang Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad. Ketika itu saya sedang berbaring di kelas terendah di sebuah kapal yang membawa saya dari Nias sehabis melakuan riset arsitektur Nias Utara dan Nias Selatan kembali menuju Jakarta. Saya tahu di Jakarta saya akan dihadapkan pad skripsi yang harus saya buat waktu itu. Tapi sungguh, belum ada satu ide pun yang hinggap di kepala.
Di genggaman ada buku kumpulan tulisan Catatan Pinggir milik teman. Ada tulisan berjudul “Fathy”. Rupanya Goenawan Mohamad sedang bercerita tentang kegigihan seorang arsitek asal Mesir, Hassan Fathy, yang merumuskan tentang arsitektur bagi kaum miskin. Ada jatuh bangun di sana. Detik itu pula saya tahu, saya akan menuliskan skripsi tentang permukiman bagi kaum papa di Indonesia.
Goenawan Mohamad sendiri merupakan pribadi yang lengkap. Selain budayawan dan sastrawan, ia juga berhasil menjadi “pengusaha” ketika mampu membawa majalah Tempo menjadi majalah berita ternama di Indonesia. Patron bagi majalah berita di Indonesia saat ini selalu Tempo, dan Goenawan Mohamadlah sang legenda yang ada di belakangnya. Sangat jarang di Indonesia, kehidupan busdayawan dan sastrawan yang diidentikkan dengan kehidupan “bohemian” mampu sekaligus menjadi pemimpin sebuah perusahaan yang menghidupi sekian ratus karyawan.
Hari ini, ketika masa liburan lebaran telah habis, saya menemukan kutipan dari Goenawan Mohamad tentang memafkan. Dia bertutur, memaafkan bukan tanda keluhuran budi manusia, tapi karena manusia terlalu fana untuk menghakimi. Ah, ketika dimana-mana manusia saling membunuh karena merasa ideologi, agama, atau keyakinannya yang paling benar, semoga kutipan ini menembus relung hati terdalam setiap manusia.
Kalau Anda suka membaca majalah Tempo, majalah yang juga kelahirannya dibidani olehnya, Anda tentu tak akan pernah melupakan tulisan-tulisan di Catatan Pinggirnya. Tulisannya tidak rumit, namun mampu menembus ke sela-sela persoalan terdalam yang dihadapi bangsa ini. Tidak menggurui, tapi selalu menuntun ke kehidupan yang saling menghargai.
Ada pengalaman tersendiri dari saya tentang Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad. Ketika itu saya sedang berbaring di kelas terendah di sebuah kapal yang membawa saya dari Nias sehabis melakuan riset arsitektur Nias Utara dan Nias Selatan kembali menuju Jakarta. Saya tahu di Jakarta saya akan dihadapkan pad skripsi yang harus saya buat waktu itu. Tapi sungguh, belum ada satu ide pun yang hinggap di kepala.
Di genggaman ada buku kumpulan tulisan Catatan Pinggir milik teman. Ada tulisan berjudul “Fathy”. Rupanya Goenawan Mohamad sedang bercerita tentang kegigihan seorang arsitek asal Mesir, Hassan Fathy, yang merumuskan tentang arsitektur bagi kaum miskin. Ada jatuh bangun di sana. Detik itu pula saya tahu, saya akan menuliskan skripsi tentang permukiman bagi kaum papa di Indonesia.
Goenawan Mohamad sendiri merupakan pribadi yang lengkap. Selain budayawan dan sastrawan, ia juga berhasil menjadi “pengusaha” ketika mampu membawa majalah Tempo menjadi majalah berita ternama di Indonesia. Patron bagi majalah berita di Indonesia saat ini selalu Tempo, dan Goenawan Mohamadlah sang legenda yang ada di belakangnya. Sangat jarang di Indonesia, kehidupan busdayawan dan sastrawan yang diidentikkan dengan kehidupan “bohemian” mampu sekaligus menjadi pemimpin sebuah perusahaan yang menghidupi sekian ratus karyawan.
Hari ini, ketika masa liburan lebaran telah habis, saya menemukan kutipan dari Goenawan Mohamad tentang memafkan. Dia bertutur, memaafkan bukan tanda keluhuran budi manusia, tapi karena manusia terlalu fana untuk menghakimi. Ah, ketika dimana-mana manusia saling membunuh karena merasa ideologi, agama, atau keyakinannya yang paling benar, semoga kutipan ini menembus relung hati terdalam setiap manusia.
Comments
ngobrol dimana en? wah beruntung bgt pernah ngobrol sama beliau...
salam kenal mas..
makanya pulang bu...
tapi masa bener menembus hati terdalam elu sih?