Setia

Setelah sekian lama banyak tidak bertemu dengan lingkaran pertemanan di Jakarta, entah karena sempat magang ke Sydney, istirahat di rumah gara-gara sendi bahu yang lepas, lalu bekerja di Bali selama 8 bulan, akhirnya aku berhasil memetakannya. Teman di masa SD-SMP-SMA, teman masa kuliah, teman di pekerjaan yang lalu, akhirnya perlahan-lahan, satu demi satu, banyak yang aku jumpai lagi.

Banyak yang muncul secara tak terduga. Ada yang bertemu karena sama-sama datang ke pesta pernikahan. Ada yang janjian karena minta aku menjadi fotografer untuk foto pre wedding atau sekedar foto keluarga. Ada yang tiba-tiba tengah malam telepon minta bangunan hasil karyanya didokumentasikan. Ada yang mengajak bertemu untuk menawarkan bisnis MLM (huh...). Mengajak berkunjung ke rumahnya untuk melihat anaknya yang baru lahir atau sekedar berbincang di warung kopi tentang hidup yang berlari cepat, ah itu semua benar-benar terjadi di beberapa waktu ini.

Senang, tapi mereka banyak yang terkejut kalau aku mulai mengeluarkan telepon selulerku. "Hah, HP elu ga ganti, Bham?", "Masih yang itu?", "Pelit amat sih elu, HP udah buluk masih dipake! Ganti napa?", "Buset, Handphone 4 tahun masih belum diganti!" itu kata-kata yang banyak keluar.

Lucu, geli, sedikit semriwing, semua bercampur jadi satu. Aku jadi mulai sadar bahwa telepon ini memang sudah berusia cukup tua. Ia dibeli akhir tahun 2003 untuk menggantikan ponselku yang hilang waktu itu. Hmmm, aku yakin kalau ponsel itu tidak hilang, maka telepon yang aku pakai pastilah telepon yang dulu itu.

Kadang memang timbul pertanyaan, haruskah aku mengganti benda kecil yang sudah aku bawa berkeliling kemana-mana itu? Ia masih satu warna, deringnya masih monoponic, tidak ada kameranya, tidak ada MP3 player, tidak ada radio, juga tentu saja tidak bisa dipakai untuk menyapu, mengelap meja, atau remote controller untuk televisi. Tapi, meskipun begitu ia bandel, sudah beberapa kali jatuh, tapi cuma bopeng-bopeng, sedangkan fungsinya seperti sediakala. Aku sudah hapal dengan tombolnya, sehingga meskipun nomor-nomor di tombol sudah hilang semua, aku dapat ber-sms dengan mudah.

Waktu aku beli tahun itu, harganya 450 ribu rupiah. Murah bukan? Merknya Motorola, serinya aku tidak pernah tahu. Yang aku tahu, telepon seluler ini tidak pernah menggugah orang untuk mengambilnya. Pernah beberapa kali tertinggal, ia selalu tetap di tempat semula. Ya, siapa maling bodoh yang mau beresiko mengampil barang yang dijual di pasar gelap pun tidak laku?

Telepon seluler ini diproduksi dengan standar ISO yang tinggi lho, yaitu iso muni (bahasa Jawa, artinya bisa bunyi). Benar-benar bisa bunyi untuk telepon dan sms. Tapi kata Mas Tukul, yang penting bukan chasing-nya tapi sinyalnya. Setuju, Mas.

Tapi jujur, aku memang tidak butuh telepon yang berfungsi macam-macam. Butuh kamera? Lha wong kerjaanku jadi tukang foto, aku punya kamera yang jauh lebih canggih dibanding kamera di ponsel. Butuh denger musik? Ya tinggal setel aja walkman tuaku. Juga bisa dibawa kemana-mana kok. Butuh sapu untuk membersihkan rumah? Semua handphone tidak bisa untuk menyapu, jeng.

Pelit? Ups, tunggu dulu. Kalau setiap tahun harus ganti ponsel karena sudah tidak up to date, aku tentu bukan orang seperti itu. Mungkin pengeluaranku untuk beli buku atau majalah selama setahun jauh lebih besar dibanding sekedar mengganti telepon selular. Ngga pede? Ah, sampean ini lucu. PD kan bukan dari ponselnya, tapi ya kata Mas Tukul itu tadi, yang penting "sinyalnya".

Aku tentu tidak akan mengatakan, ia untuk selama-lamanya. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Suatu saat telepon ini pasti akan meninggalkanku. Entah hilang (bukan dicopet pastinya. Kasian pencopetnya kalau mengambil telepon ini), mungkin juga suatu saat benar-benar rusak. Kalau itu benar terjadi, aku akan mengganti ponselku dengan damai, karena aku sudah menjadi setia baginya, seperti ia telah begitu setia bagiku.

Comments

priyatnadp said…
"Hah, HP elu ga ganti, Bham?"
he-eh, vintage ya bham.

"Kasian pencopetnya kalau mengambil telepon ini,.."
he-eh, dosanya sama tapi gak laku dijual. Atau harga hp menentukan beratnya dosa nggak yah?

Ada yang tiba-tiba tengah malam telepon minta bangunan hasil karyanya didokumentasikan.../
karena aku sudah menjadi setia baginya, seperti ia telah begitu setia bagiku..."

hm...Selalu bobo bareng ya bham..?

"...Mungkin pengeluaranku untuk beli buku atau majalah selama setahun jauh lebih besar dibanding sekedar mengganti telepon selular..."

he-eh, prabham nggak pelit kok, aku pernah loh ditarktir makan walaupun blum pernah dibeliin HP ma prabham. Prabham memang lebih suka membaca buku atau majalah daripada membaca sms
prabhamwulung said…
>>mpri
ah si mpri ini bisa saja...
aku tadinya mau belikan kamu handphone pri, tapi keburu harus pindah ke jakarta..
hehe
ikeow said…
aku mau ke jakarta minggu depan...beliin handphone yak? hehehe
prabhamwulung said…
>>ikeow
ngarep...
minta sama suamimu gih...
Anonymous said…
potonya bagus2 bro
prabhamwulung said…
>>detnot
thx bro

Popular posts from this blog

Kicau

Galuh

Rumah